Jakarta (ANTARA) - Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai keluhan Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) soal kebijakan subsidi Indonesia yang belum dilaporkan secara penuh ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) kurang berdasar.
Sebab, menurutnya, informasi mengenai subsidi dan insentif fiskal sudah transparan dan terangkum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Terkait data subsidi, sebenarnya tidak ada yang disembunyikan, sangat transparan dan dapat dilihat di APBN berikut penjelasannya. Insentif berupa keringanan pajak pun sangat terbuka, siapa pun bisa mengakses data tersebut," ujar Wijayanto kepada ANTARA di Jakarta, Selasa.
Hal ini merespons dokumen 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade yang dikeluarkan USTR.
Dalam dokumen tersebut, USTR menyebut bahwa Indonesia kurang transparan dalam penerapan kebijakan subsidinya.
Indonesia dinilai belum menyampaikan notifikasi subsidi di bawah Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (ASCM) sejak 2019, dan baru satu kali mengirimkan notifikasi sejak bergabung dengan WTO pada 1995.
Laporan itu juga menyebutkan Indonesia masih memberikan berbagai insentif fiskal dan nonfiskal untuk sektor manufaktur dan ekspor, termasuk di kawasan berikat dan kawasan ekonomi khusus (KEK). Insentif tersebut mencakup keringanan pajak penghasilan badan, pajak properti, bea masuk, PPN, cukai, pajak barang mewah, hingga bantuan pengadaan lahan, perizinan, investasi, dan ketenagakerjaan.
Namun menurut Wijayanto, insentif fiskal seperti keringanan pajak itu sangat terbuka dan siapa pun bisa mengakses datanya.
“Apa yang dikeluhkan oleh pihak AS sesungguhnya kurang mempunyai dasar,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia juga menilai pemerintah Indonesia perlu bersikap lebih tegas dalam menjaga kepentingan nasional yang bersifat mutlak (non-negotiable).
"Kita tidak perlu terlalu terprovokasi oleh permintaan AS. Namanya juga negosiasi, mereka pasti memulai dengan call yang tinggi; apalagi merasa di atas angin," ungkapnya.
Terkait kemungkinan tekanan dari Amerika Serikat (AS) dalam proses negosiasi tarif resiprokal dengan Indonesia, Wijayanto menyarankan tim negosiasi Indonesia agar tidak tergesa-gesa mengambil keputusan.
"Tim negosiasi kita tidak perlu terburu-buru, buying time saja. Segalanya masih sangat cair, belum tentu Trump tidak memperpanjang tenggat 90 hari. Yang penting, jangan sampai kita deal awal dan ternyata overshooting," tutur Wijayanto.
Dirinya juga menyarankan agar pemerintah aktif memantau langkah negara-negara tetangga seperti Vietnam, India, dan Thailand, yang bisa menjadi referensi penting dalam merumuskan strategi negosiasi yang lebih menguntungkan.
"Kita perlu memantau deal seperti apa yang dilakukan oleh Vietnam, India, Thailand dan negara tetangga lainnya. Deal-deal tersebut adalah referensi penting bagi kita," kata dia.
Adapun di Washington D.C, Pemerintah Indonesia dan USTR sepakat untuk segera membahas negosiasi tarif secara intensif dan menyiapkan kerangka kerja sama dalam waktu 60 hari ke depan.
Kesepakatan ini dicapai dalam pertemuan tingkat Menteri antara Delegasi RI yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan pihak USTR yang langsung dipimpin oleh Ambassador Jamieson Greer di Washington DC.
Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Zaenal Abidin
Copyright © ANTARA 2025