Jakarta (ANTARA) - "Vox Populi, Vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan." Ungkapan klasik ini bukan sekadar adagium, melainkan napas dari demokrasi itu sendiri.
Dalam lanskap Indonesia di hari-hari terakhir ini, maknanya terasa semakin relevan. Gelombang demonstrasi yang mengguncang berbagai daerah menjadi penanda kuat bahwa suara masyarakat tidak bisa diabaikan.
Dari buruh yang menuntut perlindungan, mahasiswa yang memekikkan idealisme, pengemudi ojek online yang merasakan dampak kebijakan, hingga siswa yang menginginkan masa depan lebih baik, semua menyuarakan keresahan dan harapan.
Ini bukan sekadar suara-suara terpisah, melainkan harmoni kegelisahan yang berpadu menjadi panggilan moral bagi negara untuk mendengar, memahami, dan bertindak dengan bijaksana.
Namun, di balik riuhnya suara massa, ada kenyataan pahit yang tak boleh diabaikan bahwa rapuhnya situasi sosial yang, jika tak dikelola dengan hati-hati, dapat menjerumuskan bangsa ke pusaran perpecahan.
Tragedi Affan Kurniawan, seorang driver ojek online yang menjadi korban dalam aksi massa, mengguncang nurani publik.
Kehilangan nyawa seorang warga negara adalah alarm keras bahwa keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan ketertiban umum harus dijaga dengan penuh kehati-hatian.
Setiap aksi protes membawa pesan, tetapi juga risiko. Ketika suara rakyat diabaikan, jalanan menjadi panggung pelampiasan. Namun, ketika negara gagal menjaga warganya, kepercayaan publik pun terkikis.
Situasi ini menjadi ujian besar bagi semua pihak, termasuk pemerintah, aparat, wakil rakyat, bahkan masyarakat sendiri.
Semua merasakan keprihatinan mendalam atas kondisi ini. Maka, mendengarkan aspirasi masyarakat bukanlah pilihan, melainkan kewajiban moral dan konstitusional.
Semua pihak berharap aksi demo ini tidak meluas dan berskala lebih besar lagi, sehingga situasi tetap kondusif dan terkendali.
Hal yang menjadi titik krusial saat ini adalah negara harus menjadi ruang dialog, bukan arena benturan. Suara rakyat adalah fondasi legitimasi kekuasaan.
Ketika pemerintah dan wakil rakyat gagal mendengar, celah ketidakpercayaan melebar, di sanalah potensi kerentanan bangsa mengintai.
Namun menjaga kondusivitas bukan hanya tugas pemerintah. Semua harus mengingatkan agar masyarakat tetap tenang dan tidak mudah terprovokasi. Dalam suasana sosial yang sensitif, informasi menyesatkan dapat menyulut bara.
Ada pihak-pihak yang mungkin menunggangi kegelisahan ini untuk kepentingan sempit, yang justru membahayakan masa depan bangsa.
Sejarah kelam 1998 seharusnya menjadi pelajaran berharga untuk menjaga persatuan bangsa. Rakyat akan semakin menderita, karenanya jangan sampai aksi ini ditunggangi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Pesan ini lebih dari sekadar imbauan namun juga pengingat sejarah bahwa bangsa yang besar harus belajar dari luka masa lalunya.
Baca juga: Empati Prabowo atas tragedi Affan
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.