Gaza (ANTARA) - Usulan kontroversial Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk merelokasi warga Gaza dan bahwa AS akan mengambil alih kendali area itu berisiko melemahkan solusi dua negara dan memperburuk krisis kemanusiaan di wilayah tersebut, tutur sejumlah pakar politik Palestina.
Berbicara bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang sedang berkunjung, dalam konferensi pers gabungan pada Selasa (4/2), Trump menyampaikan bahwa AS akan mengambil alih kendali Jalur Gaza dan membangunnya kembali, tanpa memberikan detail terkait cara pelaksanaan prosedur pemukiman kembali warga Palestina.
Namun, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio berupaya menarik kembali pernyataan Trump pada Rabu (5/2), dengan mengatakan bahwa sang presiden hanya menawarkan untuk menyingkirkan puing-puing, membersihkan tempat itu dari semua kehancuran yang terjadi di lapangan, membersihkannya dari amunisi yang tidak meledak.
Pernyataan Trump telah memantik kritik yang meluas sebagai upaya untuk menghapus identitas dan hak nasional Palestina dengan dalih bantuan. Dalam wawancara terpisah, sejumlah analis Palestina mengatakan kepada Xinhua bahwa pernyataan Trump merupakan bagian dari agenda yang lebih luas untuk melemahkan perjuangan Palestina.
Sementara usulan Trump kemungkinan tidak dapat segera direalisasikan, sejumlah pakar mengatakan hal itu mencerminkan upaya yang sedang berlangsung oleh AS dan Israel untuk menata kembali dinamika di kawasan tersebut, ungkap Samir Anbitawi, pakar Palestina yang berbasis di Ramallah.
Anbitawi berpendapat bahwa pernyataan Trump bukanlah retorika yang impulsif, tetapi bagian dari strategi untuk membingkai konflik Israel-Palestina sebagai masalah pengungsi, dan mengesampingkan hak-hak politik warga Palestina.
"Usulan semacam itu berpotensi melahirkan solusi yang menguntungkan pendudukan dan merusak upaya solusi dua negara. Usulan itu meneruskan agenda lama AS-Israel untuk mengusir warga Palestina dengan dalih bantuan kemanusiaan," imbuh Anbitawi.
Dia menyatakan usulan tersebut memanfaatkan kondisi kemanusiaan yang parah di Gaza untuk menekan negara-negara Arab yang lokasinya berdekatan agar menerima warga Palestina sebagai pengungsi.
"Pendekatan ini menempatkan Palestina sebagai 'beban regional' dan berupaya menghapus isu mereka sepenuhnya," imbuhnya.
Rencana semacam itu juga dapat mempercepat upaya untuk memisahkan Gaza dari Tepi Barat, memecah belah wilayah Palestina, dan merusak prospek terciptanya sebuah negara yang merdeka dan tidak terpisahkan, ujar Ahmed Rafiq Awad, seorang pakar politik lainnya yang berbasis di Ramallah
"Usulan Trump dapat memperkuat kontrol Israel atas tanah Palestina dengan melakukan depopulasi (terhadap) Gaza," tutur Awad kepada Xinhua.
Fadi Jomaa, seorang dosen di Arab American University di Jenin, mengatakan kepada Xinhua bahwa Kebijakan AS ini akan memicu keresahan di negara-negara penerima, mengingat pemerintah kesulitan untuk mengelola gelombang masuk pengungsi di tengah ketidakstabilan regional yang sedang berlangsung.
Langkah-langkah semacam itu sama saja dengan menghapus prospek negara Palestina yang merdeka, tuturnya, sembari menambahkan bahwa merelokasi warga Palestina akan mengukuhkan status mereka sebagai pengungsi permanen, melucuti identitas nasional dan hak politik mereka.
Penolakan
Pemerintah dan pemimpin regional di Timur Tengah pada Rabu secara tegas menolak usulan Trump untuk mengambil alih kendali atas Gaza dan merelokasi warga Palestina. Liga Arab menolak usulan semacam itu dalam sebuah pernyataan, menyebut hal itu melanggar hukum internasional dan mengancam stabilitas regional.
Usulan Trump tidak memberikan kontribusi terhadap pencapaian solusi dua negara, yang merupakan satu-satunya cara untuk mewujudkan perdamaian dan keamanan antara Palestina dan Israel, dan kawasan itu secara keseluruhan, ungkap badan pan-Arab tersebut.
Menteri Luar Negeri Turkiye Hakan Fidan menyebut usulan terkait Gaza itu tidak dapat diterima dan cacat secara fundamental.
Kementerian Luar Negeri Arab Saudi merilis sebuah pernyataan yang menegaskan kembali bahwa posisi Arab Saudi perihal pendirian negara Palestina adalah hal yang tidak dapat ditawar.
Menteri Luar Negeri Mesir Badr Abdelatty mendesak kelanjutan upaya pemulihan Gaza tanpa memaksa warga Palestina meninggalkan wilayah kantong tersebut. Dalam sebuah pertemuan dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas di Amman, Raja Yordania Abdullah II juga menolak segala upaya untuk mencaplok wilayah atau mengusir warga Palestina.
Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2025