Upah minimum dan tantangan pemenuhan hidup layak di DIY

3 hours ago 2

Jakarta (ANTARA) - Yogyakarta kerap dirayakan sebagai ruang nostalgia tentang rindu, pulang, dan angkringan. Pengujung tahun selalu membawa keramaian tersendiri ke Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ketika wisatawan datang dan aktivitas pariwisata bergerak lebih padat daripada hari-hari biasa.

Di balik ritme aktivitas yang kian meningkat itu, persoalan upah dan kemampuan memenuhi kebutuhan hidup layak masih menjadi bagian dari keseharian banyak buruh di DIY.

Provinsi ini sering dipersepsikan sebagai wilayah dengan biaya hidup rendah. Faktanya, kebutuhan hidup terus meningkat, harga tanah melambung, sementara upah buruh bergerak jauh lebih lambat.

Ketimpangan inilah yang membuat persoalan upah minimum di DIY relevan untuk dibaca lebih dalam, bukan semata sebagai angka administratif tahunan, melainkan sebagai indikator kemampuan buruh mempertahankan standar hidup yang layak.

Pada 2026, Upah Minimum Provinsi (UMP) DIY ditetapkan sebesar Rp2.417.495, naik 6,78 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan ini mengikuti formula nasional dengan nilai alpha 0,8 di tengah rentang 0,5 hingga 0,9 yang ditetapkan pemerintah pusat.

Secara nominal, kenaikan tersebut tampak cukup signifikan. Namun, pertanyaan yang lebih mendasar adalah apakah besaran upah tersebut memadai untuk menjawab kebutuhan hidup buruh di DIY?

Data Kebutuhan Hidup Layak (KHL) DIY tahun 2025 menunjukkan angka Rp4.604.982. Nilai ini mencerminkan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh satu pekerja untuk menopang kehidupan rumah tangganya secara layak. Artinya, terdapat selisih yang sangat lebar antara upah minimum dan kebutuhan hidup layak yang dihadapi buruh. Kenaikan upah, meskipun penting, belum sepenuhnya mampu menutup jurang tersebut.

Gambaran ini semakin jelas jika dikaitkan dengan data garis kemiskinan. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), garis kemiskinan DIY tahun 2025 mencapai Rp626.363 per kapita per bulan. Dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga sekitar empat orang, satu rumah tangga dikategorikan miskin apabila pengeluarannya berada di bawah Rp2.505.452 per bulan.

Dengan UMP sebesar Rp2.417.495, seorang buruh lajang sekalipun, berada sangat dekat dengan batas minimum pemenuhan kebutuhan dasar, terlebih bagi buruh yang menjadi tulang punggung rumah tangga.

Perbandingan dengan daerah lain di Pulau Jawa memperlihatkan kontras yang mencolok. Kota Surabaya, misalnya, memiliki garis kemiskinan Rp775.579 per kapita per bulan atau sekitar Rp3.102.316 per rumah tangga. Namun, Upah Minimum Kota Surabaya pada 2026 mencapai Rp5.288.796. Dengan kebutuhan hidup dasar yang tidak terpaut jauh, buruh di Surabaya memiliki ruang fiskal yang jauh lebih longgar dibandingkan buruh di DIY.

Di Yogyakarta, upah minimum berada sangat dekat dengan batas bertahan hidup, sementara kota besar lain memberikan margin yang lebih aman bagi buruhnya.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |