Jakarta (ANTARA) - "Anak muda harus sekolah, gak boleh menganggur, untuk bekal di masa depan biar besar gak jadi preman."
Di balik irama rock and roll yang membara, potongan lirik lagu Slank berjudul Tut Wuri Handayani itu terdengar sederhana, tetapi memiliki makna yang dalam, jangan biarkan generasi muda terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan keterbatasan.
Realitas di lapangan, saat ini, ribuan anak masih terpaksa meninggalkan bangku sekolah, terhimpit beban ekonomi dan minim akses.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) yang dikeluarkan pada 19 Maret 2025, tercatat 66.866 siswa yang putus sekolah sepanjang 2024.
Rinciannya, 38.540 siswa di tingkat SD/sederajat, 12.219 siswa di SMP/sederajat, 6.716 siswa SMA, dan 9.391 siswa SMK. Itu bukan sekadar angka statistik, melainkan mimpi yang tertunda dan potensi yang terbuang.
Meskipun demikian, angin perubahan mulai berembus. Pemerintah terus berupaya menggelar serangkaian kebijakan ambisius untuk menekan angka putus sekolah.
Salah satunya, seorang bocah di Makassar, Sulawesi Selatan, namanya Akbar (15). Sulung dari tiga bersaudara ini bekerja di bengkel untuk membantu ekonomi keluarga. Di usia belasan tahun, ia lebih akrab dengan peralatan bengkel ketimbang pena. Beruntung, kini, ia masuk program Sekolah Rakyat. Cerita Akbar mewakili 66.866 siswa yang putus sekolah sepanjang 2024 itu.
Akar masalah
Putus sekolah bukanlah pilihan bebas yang diambil dengan suka rela, melainkan jerat yang lahir dari penyebab-penyebab yang saling terkait. Hal yang paling mencolok adalah beban biaya pendidikan. Buku, seragam, hingga ongkos transportasi terasa seperti gunung es yang harus dipikul keluarga miskin. Dalam situasi harga sembako yang berfluktuasi, banyak orang tua lebih memilih mengisi perut daripada memenuhi hak pendidikan anak-anaknya.
Anak-anak seperti Akbar terpaksa turun ke lapangan untuk bekerja. Di perdesaan, anak-anak seusia Akbar banyak menjadi buruh tani atau pedagang kaki lima. Waktu belajar pun tersita, hingga akhirnya sekolah benar-benar ditinggalkan.
Dampaknya jelas, anak-anak yang putus sekolah tumbuh dengan keterampilan rendah, terjebak dalam pekerjaan kasar dengan penghasilan minim. Saat dewasa, mereka sulit bersaing di pasar kerja yang semakin kompetitif, di mana gelar sarjana menjadi tiket masuknya.
Ini bukan hanya cerita individu, ini bom waktu bagi bangsa, di mana SDM rendah menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.
Orkestra kebijakan
Meskipun demikian, di tengah kegelapan itu, cahaya mulai menyinari. Kemendikdasmen, Kementerian Sosial, dan kementerian serta lembaga lain di bawah arahan Presiden Prabowo Subianto meluncurkan serangkaian program untuk menangkap anak-anak seperti Akbar, sebelum mereka jatuh terlalu dalam.
Salah satunya pembentukan relawan pendidikan. Jaringan relawan ini bertugas melakukan deteksi dini, mengintip ke setiap sudut kota/desa untuk mengidentifikasi anak-anak berpotensi putus sekolah.
Relawan ini bukan orang asing, sering kali mereka berasal dari komunitas setempat. Dengan begitu, pendekatan yang dilakukan lebih empatik, penuh kedekatan, dan bisa membangun kepercayaan keluarga.
Mereka bukan sekadar pengamat, mereka adalah pembina, konselor, dan penghubung antara keluarga dan sekolah. Program ini tidak hanya preventif, tapi juga bentuk empati pemerintah memahami akar masalah dari perspektif komunitas.
Tidak berhenti di situ, pemerintah juga mengalokasikan sejumlah anggaran khusus di bidang pendidikan, seperti Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) 2025 sebesar Rp59,2 triliun untuk 423.080 satuan pendidikan di seluruh daerah negeri ini.
Uang itu bukan sekadar angka di dalam dokumen. Uang itu bisa berubah menjadi buku baru, fasilitas yang layak, dan guru yang termotivasi. Sekolah-sekolah di daerah terpencil, yang sering kali seperti gudang reot, kini punya amunisi untuk bertahan.
Lalu, ada Program Indonesia Pintar (PIP) 2025 dengan anggaran Rp9,67 triliun, menyasar 17,9 juta anak dari keluarga miskin. PIP ini seperti pelindung super, memberikan bantuan tunai langsung untuk biaya sekolah, mulai dari seragam, hingga uang saku bulanan. Anak-anak miskin tidak lagi harus memilih antara bekerja dan belajar. PIP memastikan keduanya terpenuhi.
Inovasi lain yang patut diapresiasi adalah pendirian Sekolah Rakyat di 165 lokasi, merentang dari Sumatera hingga Papua pada 2025. Sekolah-sekolah ini dirancang khusus untuk anak-anak yang telanjur putus atau berisiko tinggi tidak sekolah, dengan kurikulum fleksibel yang mengakomodasi kebutuhan lokal.
Kemudian, untuk memperkuat jaring pengaman, ada Program Keluarga Harapan (PKH) yang mewajibkan anak di keluarga miskin dan miskin ekstrem tetap bersekolah. Ini seperti kontrak sosial yang bijak, di mana negara berinvestasi pada masa depan.
Presiden Prabowo Subianto tidak henti menyuarakan urgensi ini. Dalam salah satu pidatonya, ia tegas menyatakan bahwa anak-anak yang putus sekolah harus bisa sekolah, anak-anak yang tadinya mungkin merasa rendah diri karena orang tuanya sangat susah hidupnya, harus ditarik untuk percaya diri bersekolah.
Prabowo, dengan latar belakang militernya melihat pendidikan sebagai benteng pertahanan terkuat bangsa. Di bawah kepemimpinannya, kebijakan-kebijakan ini bukan sekadar program tahunan, tapi bagian dari revolusi pendidikan nasional.
Tentu saja, tantangan masih menjulang. Implementasi di lapangan sering kali tersandung birokrasi, korupsi, hingga akses geografis yang sulit.
Namun jika koordinasi lintas kementerian berjalan baik, mulai dari Kemendikdasmen, Kementerian Sosial, hingga pemerintah daerah, ditambah dukungan aktif masyarakat, maka kebijakan ini bisa menjadi jaring pengaman nyata bagi anak-anak Indonesia.
Cerita Akbar bisa berubah, dari bengkel kembali ke kelas. Di sekolah, ia dapat belajar bukan hanya matematika, tapi juga membuka peluang untuk meraih mimpi yang bisa mengangkat derajat keluarganya, bahkan negara.
Baca juga: Anggota DPR dukung pendirian 500 Sekolah Rakyat
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.