Gaza (ANTARA) - Hamas pada Minggu (14/9) menyerukan kepada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Arab-Islam yang dijadwalkan akan diadakan di Doha, Qatar, pada Senin (15/9) agar segera mengambil langkah-langkah untuk menghentikan serangan Israel ke Gaza.
Mereka juga menuntut Israel untuk mencabut blokade, serta menjaga kedaulatan dan keamanan kolektif negara-negara Arab dan Islam.
Dalam sebuah pernyataan pers, Izzat al-Risheq, seorang anggota biro politik Hamas, mengatakan bahwa KTT tersebut harus menjadi "titik balik yang menentukan bagi keputusan Arab untuk menghentikan agresi terhadap Gaza, mengakhiri pengepungan dengan segera, serta melindungi kedaulatan dan keamanan nasional negara-negara Arab."
Dia menambahkan bahwa pertemuan Doha tersebut harus mewakili "konsensus bersejarah di mana negara-negara Arab dan Islam mengerahkan semua alat kekuasaan demi menghentikan perang di Gaza dan tindakan Israel di Tepi Barat, Yerusalem, Lebanon, Suriah, Yaman, Tunisia, dan Qatar."
Al-Risheq menuduh kepala otoritas Israel Benjamin Netanyahu "memperluas konflik ke kawasan itu dalam upaya untuk menggambar ulang peta Timur Tengah dan menguasainya, yang didorong oleh visi ekstremis tentang Israel Raya."
Al-Risheq mengatakan bahwa kebijakan seperti itu "menempatkan seluruh kawasan di ambang ledakan."
Dia juga mengecam serangan Israel terhadap tim negosiasi Hamas di Doha, menyebutnya sebagai "upaya terang-terangan untuk melemahkan upaya mediasi Qatar dalam menghentikan bencana kemanusiaan di Gaza."
Sementara itu, Basem Naim, seorang anggota biro politik Hamas, dalam sebuah pernyataan pers mengatakan bahwa "serangan terhadap Qatar kembali mengungkapkan sifat pengkhianatan Israel, yang mengabaikan kesepakatan dan komitmen."
"Kawasan kami dan dunia menghadapi momen yang menentukan: antara membiarkan Israel melanjutkan agresinya dan destabilisasi di kawasan ini, atau menyatukan upaya untuk menghentikan kekacauan yang ditimbulkan oleh Netanyahu dan pemerintahannya," ujar Naim.
Dia mengungkapkan harapan Hamas bahwa KTT tersebut akan mengesahkan sebuah pernyataan sikap Arab-Islam yang bersatu untuk memutuskan hubungan dengan Israel dan meminta pertanggungjawaban Israel atas tindakannya.
Pada Minggu yang sama, Hamas juga mengatakan telah mengirimkan sebuah memorandum mendesak kepada negara-negara Arab dan Islam, negara-negara berpengaruh, Liga Arab, Organisasi Kerja Sama Islam, Komisi Uni Afrika, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Memorandum tersebut, yang salinannya diperoleh Xinhua, merinci apa yang digambarkan oleh Hamas sebagai upaya "pengkhianatan" Israel untuk membunuh delegasi negosiasinya di Doha.
Menurut memorandum itu, pimpinan Hamas, termasuk tim negosiasinya, bertemu pada 8 September dengan para pejabat Qatar, yang mempresentasikan sebuah proposal gencatan senjata baru.
Pada 9 September, pesawat Israel menyerang rumah Khalil al-Hayya, kepala delegasi negosiasi Hamas, hingga menewaskan lima anggota Hamas, termasuk putra al-Hayya dan seorang penjaga keamanan Qatar. Sejumlah anggota keluarga al-Hayya mengalami luka-luka, sementara para negosiator Hamas selamat.
Memorandum tersebut menggambarkan serangan Israel di Doha itu sebagai "pelanggaran serius terhadap kedaulatan Qatar, yang menjadi mediator dalam negosiasi."
Memorandum itu juga menekankan bahwa Hamas menunjukkan "fleksibilitas maksimum" dalam upaya menghentikan perang, sementara Israel "terus menghambat tercapainya kesepakatan melalui pembunuhan, persyaratan baru, dan pembantaian, menggunakan negosiasi sebagai kedok untuk mengulur-ulur waktu."
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.