Jakarta (ANTARA) - September 2025 menjadi momentum penting bagi arah masa depan perusahaan negara. Panitia Kerja (Panja) RUU BUMN di Komisi VI DPR menyepakati penghapusan nomenklatur Kementerian BUMN dalam draf revisi undang-undang, sebuah keputusan yang disebut sebagai langkah korektif dalam menata ulang peran BUMN di era persaingan global.
Komisi VI bersama pemerintah juga telah menyetujui kesepakatan itu dalam rapat tingkat I pada Jumat (26/9).
Momen ini menandai salah satu titik krusial dalam pembahasan RUU BUMN, yang sejak awal mendapat sorotan luas karena menyangkut masa depan pengelolaan aset negara bernilai ribuan triliun rupiah.
Nantinya, setelah undang-undang disahkan di rapat paripurna, Kementerian BUMN resmi digantikan oleh Badan Pengaturan BUMN (BPBUMN), sementara urusan investasi tetap berada di bawah Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara.
Revisi UU BUMN kali ini mencakup 84 pasal perubahan. Isinya cukup luas, mulai dari perubahan nomenklatur, penguatan kewenangan BPBUMN, hingga rancangan struktur yang diharapkan lebih ramping, transparan, dan adaptif terhadap kebutuhan zaman.
Deretan pasal itu mengatur isu strategis, pengelolaan dividen saham seri A dwiwarna oleh BPBUMN dengan persetujuan presiden, larangan rangkap jabatan pejabat negara di direksi dan komisaris sesuai putusan Mahkamah Konstitusi, serta penegasan peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam audit keuangan BUMN.
Tidak berhenti di situ, kesetaraan gender juga menjadi poin penting agar perempuan memperoleh ruang setara di level manajerial, direksi, dan komisaris.
Aspek perpajakan, penguasaan aset fiskal, hingga mekanisme peralihan kelembagaan turut diperinci.
Dengan paket lengkap itu, revisi UU BUMN diproyeksikan bukan hanya sebagai penyesuaian struktural, melainkan sebuah modernisasi tata kelola yang menyentuh dimensi hukum, ekonomi, hingga sosial.
Langkah ini dipandang sebagai upaya menyelesaikan persoalan klasik pengelolaan BUMN, mulai dari tumpang tindih kewenangan hingga lamban-nya restrukturisasi.
Skema baru diharapkan mampu merespons kritik publik sekaligus menghapus hambatan birokrasi yang selama ini dianggap memperlambat proses konsolidasi perusahaan negara.
Sejarah panjang BUMN sendiri membuktikan peran vital-nya dalam pembangunan nasional. Dari sektor energi, telekomunikasi, perbankan, hingga transportasi, perusahaan negara menjadi pilar penting APBN.
Pada 2024, dividen BUMN mencapai Rp85,5 triliun, sebuah kontribusi signifikan di tengah gejolak ekonomi global.
Namun, di balik capaian itu, problem struktural tetap membayangi. Program restrukturisasi sejak 2019 memangkas jumlah BUMN dari 142 entitas menjadi 107 perusahaan aktif, dengan target jangka panjang sekitar 70 perusahaan melalui merger, holding, atau likuidasi.
Meski demikian, sejumlah holding besar masih menghadapi tantangan integrasi, dan tidak sedikit BUMN yang kinerjanya belum efisien.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Nurdin Halid menyebut revisi UU BUMN kali ini sebagai momentum korektif agar BUMN lebih efisien sekaligus memperkuat daya saing global.
Menurutnya, perubahan kelembagaan akan membuat BUMN lebih fokus menjalankan fungsi strategis sebagai motor ekonomi dan lokomotif pembangunan.
“Kontrol negara adalah harga mati. Apa pun bentuk kelembagaannya, BUMN tetap harus berpijak pada Pasal 33 UUD 1945,” tegasnya.
Pro dan kontra
Meski penuh optimisme, dinamika pro dan kontra tetap mengemuka. Pengamat BUMN sekaligus Managing Director Lembaga Manajemen FEB UI, Toto Pranoto, menilai perubahan status kementerian menjadi badan berpotensi memperbaiki tata kelola.
Menurutnya, struktur baru bisa mengurangi intervensi politik dan memperkuat praktik Good Corporate Governance (GCG). Dengan fungsi regulator dan operator yang lebih jelas, konflik kepentingan dapat diminimalisir.
Namun, Analis Komunikasi Politik Hendri Satrio mengingatkan agar pemerintah tidak hanya fokus dalam menerapkan perubahan kelembagaan tersebut.
Ia menilai yang lebih penting adalah pembenahan infrastruktur BUMN, penguatan kapasitas manajerial, serta penegakan akuntabilitas.
Jika hal mendasar ini diabaikan, revisi undang-undang hanya menjadi perubahan administratif tanpa dampak nyata.
Risiko birokrasi baru juga jadi sorotan. Mengganti kementerian dengan badan berpotensi menambah lapisan regulasi jika tidak diiringi reformasi manajemen internal.
Kekhawatiran lain adalah potensi bias kepentingan politik dalam pengelolaan aset negara bernilai besar. Selain itu, periode transisi kelembagaan juga rawan menimbulkan kekosongan regulasi.
DPR dan pemerintah dituntut menyiapkan aturan turunan yang jelas agar tidak menimbulkan kebingungan di lapangan dan juga kepada masyarakat.
“Asal dikomunikasikan dengan jelas dan berdasarkan data, masyarakat akan merasakan manfaat langsung tanpa keraguan,” ungkapnya.
Modernisasi tata kelola
Untuk menjawab keraguan itulah, DPR menawarkan skema dual engine system di mana BPBUMN dijadikan sebagai regulator domestik dan Danantara sebagai pengelola investasi global.
Model ini diharapkan membuat BUMN lebih lincah, tetap berpihak pada kepentingan rakyat, sekaligus kompetitif di pasar internasional.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menegaskan, penghapusan nomenklatur Kementerian BUMN bukanlah pelemahan, melainkan modernisasi tata kelola.
“Revisi ini harapan baik dalam rangka tata kelola, apalagi dengan masuknya Badan Pemeriksa Keuangan secara limitatif di dalam undang-undang,” ucapnya.
Pemerintah menilai pembentukan BPBUMN sejalan dengan agenda reformasi birokrasi nasional yang menekankan efisiensi dan efektivitas lembaga.
Penyederhanaan struktur diharapkan memangkas tumpang tindih kewenangan yang selama ini memperlambat keputusan strategis.
Namun integrasi kelembagaan ini juga dituntut menghadirkan inovasi pelayanan, agar manfaat langsung bisa dirasakan masyarakat.
Transformasi Kementerian BUMN menjadi taruhan besar. Jika revisi UU benar-benar menghadirkan BUMN yang transparan, efisien, dan berdaya saing, Indonesia akan memiliki perusahaan negara yang bukan hanya menyumbang dividen, tetapi juga tampil sebagai wajah bangsa di panggung ekonomi dunia.
Namun jika gagal, perubahan hanya akan meninggalkan jejak administratif tanpa manfaat nyata bagi rakyat.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.