Tersangka Haryanto sebut masih ditanya hal normatif oleh KPK

3 months ago 25

Jakarta (ANTARA) - Tersangka kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan izin kerja atau rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA), Haryanto, mengaku masih ditanya hal normatif oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Biasa, kami (ditanya, red.) normatif saja,” ujar Haryanto usai diperiksa penyidik KPK dan pergi meninggalkan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu.

Mantan Staf Ahli Menteri Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Internasional pada masa Menaker Yassierli tersebut juga mengaku masih ditanya pertanyaan yang sama pada saat diperiksa oleh penyidik KPK beberapa waktu lalu.

Berdasarkan catatan KPK, Haryanto tiba di Gedung Merah Putih KPK pada pukul 9.48 WIB. Sementara berdasarkan laporan pewarta di lapangan, Haryanto pergi meninggalkan gedung tersebut pada pukul 14.50 WIB.

Sementara itu, kuasa hukum Haryanto, Erry Gunari Prakasa, mengatakan kliennya hanya melengkapi keterangan saat diperiksa penyidik KPK.

Ia juga mengatakan bahwa kliennya akan diperiksa oleh penyidik KPK sebagai saksi, bukan tersangka, pada pemeriksaan berikutnya.

“Sebagai saksi untuk minggu depan. Hari ini sebagai tersangka,” kata Erry.

KPK pada 5 Juni 2025 mengungkapkan identitas delapan orang tersangka kasus pemerasan dalam pengurusan RPTKA di Kemenaker, yakni aparatur sipil negara (ASN) di Kemenaker bernama Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.

Menurut KPK, para tersangka dalam kurun waktu 2019–2024 telah mengumpulkan sekitar Rp53,7 miliar dari pemerasan pengurusan RPTKA.

KPK menjelaskan bahwa RPTKA merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh tenaga kerja asing agar dapat bekerja di Indonesia.

Bila RPTKA tidak diterbitkan oleh Kemenaker, penerbitan izin kerja dan izin tinggal akan terhambat sehingga para tenaga kerja asing akan dikenai denda sebesar Rp1 juta per hari. Dengan begitu, pemohon RPTKA terpaksa memberikan uang kepada tersangka.

Selain itu, KPK mengungkapkan bahwa kasus pemerasan pengurusan RPTKA tersebut diduga terjadi sejak era Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada periode 2009–2014, yang kemudian dilanjutkan Hanif Dhakiri pada 2014–2019, dan Ida Fauziyah pada 2019–2024.

Baca juga: KPK periksa Haryanto, tersangka kasus pemerasan izin kerja TKA

Baca juga: KPK kembali geledah dua lokasi terkait kasus korupsi Kemenaker

Pewarta: Rio Feisal
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |