Jakarta (ANTARA) - Chief Investment Officer (CIO) Bank DBS Hou Wey Fook mengatakan ancaman tarif dan kebijakan yang berubah-ubah dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menjadi penyebab peningkatan volatilitas di pasar.
“Selama 12 bulan terakhir, kita telah melihat peningkatan volatilitas di pasar. Misalnya, Nasdaq mengalami koreksi tajam dari puncak ke titik rendah sebesar 16 persen pada Agustus lalu (2024) dan 23 persen dalam beberapa bulan terakhir, tetapi indeks tersebut berhasil memulihkan semua kerugian sebelumnya dan mencapai titik tertinggi baru,” katanya dalam agenda DBS CIO Insights 2H25 yang diadakan secara virtual, Jakarta, Senin.
Selama 100 hari pertama masa jabatan Trump, terjadi berbagai kejutan besar. Mulai dari pemangkasan biaya DOGE (mata uang kripto) secara agresif hingga memicu perang tarif global. Pendekatan Trump dalam memimpin disebut telah mengubah posisi AS secara signifikan, tetapi ambiguitas kebijakan tetap menjadi ciri utama yang meningkatkan premi risiko atas aset keuangan AS.
Ia menyatakan bahwa reformasi pajak besar-besaran yang baru saja disahkan oleh AS memunculkan pertanyaan serius mengenai keberlanjutan utang, dengan proyeksi Congressional Budget Office (CBO) defisit anggaran mencapai 1,9 triliun dolar AS pada tahun ini.
Selain itu juga utang federal meningkat hingga 118 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2035.
Baca juga: Sri Mulyani buka suara soal ancaman tarif 10 persen Trump untuk BRICS
Penurunan peringkat kredit AS oleh Moody’s menjadi Aa1 dinilai menandai secara simbolis berakhirnya status “bebas risiko” dari obligasi AS, sementara imbal hasil obligasi 30 tahun yang menembus 5 persen mencerminkan kekhawatiran atas keberlanjutan fiskal.
Perang tarif dari Trump disebut memiliki dua tujuan, yakni pembatasan strategis terhadap Tiongkok dan menghasilkan pendapatan untuk mengatasi kebangkrutan AS. Kendati begitu, tarif universal sebesar 20 persen dianggap hanya akan menghasilkan tambahan pendapatan 185,2 miliar dolar AS pasca memperhitungkan perilaku dinamis pasar, yang berarti nyaris tidak cukup untuk menutupi pembayaran bunga utang.
Keadaan ini membuat DBS CIO mendorong perubahan pada strategi portofolio utama.
Pertama ialah sikap netral terhadap saham dipertahankan selagi tetap menelusuri perbedaan kinerja antar sektor dan wilayah, memberikan kepercayaan terhadap sektor teknologi AS, serta mengingat bahwa sektor jasa mengungguli sektor barang.
Strategi selanjutnya adalah menurunkan peringkat obligasi pemerintah negara maju menjadi netral, karena kekhawatiran fiskal dan inflasi yang sulit dikendalikan dengan menggunakan pendekatan duration barbell dalam kredit (strategi portofolio yang menggabungkan eksposur kredit dan durasi untuk mencapai diversifikasi dan mengelola risiko).
Terakhir yaitu overweight pada aset alternatif, khususnya emas dengan target 3.765 dolar AS per ons pada kuartal IV-2025 dan aset privat penghasil pendapatan.
Baca juga: Trump ancam negara pendukung BRICS dengan tarif ekstra 10 persen
“Saya akan menganjurkan semua investor untuk mengadopsi strategi jangka panjang dengan tetap berinvestasi,” ujar Hou Wey Fook.
Adapun tiga tema utama yang akan mendominasi kuartal III-2025 yakni deeskalasi pragmatis ketegangan tarif, perbedaan kinerja saham, serta tekanan fiskal yang berdampak negatif terhadap obligasi pemerintah maupun dolar, tetapi positif untuk emas.
Deeskalasi mendadak dalam ketegangan AS-Tiongkok yang mengejutkan pasar didorong oleh pragmatisme karena tarif 145 persen pada dasarnya merupakan embargo dagang, sehingga merugikan kedua pihak.
Dengan 7,8 triliun dolar AS utang Negeri Paman Sam harus dibiayai ulang pada tahun ini dan angka jajak pendapat domestik yang menurun, ujarnya, pendekatan progresif Trump mencerminkan upaya mereposisi Partai Republik sebagai partai kelas pekerja menjelang pemilu sela 2026.
Pihaknya berpandangan hubungan yang biasanya berlawanan antara antara emas dan imbal hasil obligasi telah rusak sejak Trump mengumumkan penerapan tarif impor baru terhadap berbagai negara dengan tajuk “Hari Pembebasan,” mencerminkan dinamika baru seputar keberlanjutan fiskal dan de-dolarisasi.
Permintaan emas dari bank sentral dinyatakan mencapai 1.045 ton pada 2024 atau 121 persen di atas rata-rata historis 2010–2021, yang mengindikasikan diversifikasi berkelanjutan dari aset keuangan AS.
Pelemahan dolar sebesar minus 9,7 persen year to date (YtD) meskipun terjadi lonjakan imbal hasil treasury, menunjukkan keraguan yang meningkat terhadap status dolar sebagai mata uang cadangan dunia.
“Jadi, tidak mengherankan jika indeks ekonomi AS dan ketidakpastian kebijakan benar-benar melonjak tinggi dan ini mengakibatkan ketidakpastian yang besar bagi prospek pertumbuhan di seluruh dunia,” ujar dia.
Sebagai kesimpulan, DBS menganggap pemborosan fiskal AS dan ambiguitas kebijakan meningkatkan premi risiko atas aset keuangan. Kendati pragmatisme akan mendasari deeskalasi tarif, diharapkan terjadi perbedaan signifikan dalam kinerja saham dengan sektor teknologi dan jasa mengungguli.
DBS CIO sendiri mempertahankan strategi defensif dengan overweight pada aset alternatif, khususnya emas dan aset privat penghasil pendapatan, untuk ketahanan portofolio di era peralihan global dari dominasi aset keuangan AS.
Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.