Jakarta (ANTARA) - Delapan puluh tahun setelah resmi menjadi Bangsa yang Merdeka, Indonesia masih berhadapan dengan pertanyaan fundamental: apakah kemerdekaan telah menghadirkan sistem ekonomi yang adil bagi rakyat, atau justru memberi ruang bagi segelintir kelompok untuk menguasai sumber daya secara rakus.
Hal tersebut terutama ketika istilah "Serakahnomics" muncul sebagai fenomena dan tantangan baru pada wajah perekonomian Indonesia.
Istilah "serakahnomics" pertama kali diperkenalkan oleh Presiden Prabowo Subianto pada tanggal 20 Juli 2025, dalam pidatonya di acara penutupan Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Surakarta, Jawa Tengah. Dalam kesempatan itu, Presiden menyampaikan bahwa praktik ekonomi rakus, yang tidak lagi mengikuti akal sehat atau norma sosial, harus disebut sebagai "serakahnomics", sebagai bagian dari bentuk ekonomi serakah yang muncul secara baru dalam dinamika politik ekonomi nasional.
Selanjutnya, istilah tersebut juga muncul secara resmi dalam sambutan Presiden pada tanggal 21 Juli 2025, ketika meresmikan peluncuran Koperasi Merah Putih Desa/Kelurahan (KDMP/KKMP). Saat itu Presiden Prabowo kembali menggunakan istilah “serakahnomics” untuk mengkritik praktik curang di sektor penggilingan padi dan distribusi pangan, yang dinilai merugikan rakyat dan bertentangan dengan tujuan keadilan dalam UUD 1945.
Istilah ini kembali menjadi sorotan ketika Presiden Prabowo kembali menyampaikannya dalam pidato kenegaraan pada 15 Agustus 2025, dengan kali ini memperkuat sentimen penolakan terhadap ekonomi rakus dan manipulatif dalam forum parlemen yang sangat strategis.
Ketua DPR Puan Maharani memperkuat narasi ini dengan menegaskan bahwa ekonomi rakus telah merugikan rakyat kecil dan mengikis prinsip keadilan sosial. Keselarasan sikap eksekutif dan legislatif ini memperlihatkan adanya konsensus baru untuk membendung ketidakadilan ekonomi.
“Serakahnomics” menjadi tantangan terhadap ekonomi kerakyatan karena mendorong praktik monopoli, kartel, dan eksploitasi sumber daya demi keuntungan segelintir pihak. Hal ini bertentangan dengan prinsip ekonomi kerakyatan yang menekankan keadilan, pemerataan, gotong-royong, dan kesejahteraan bersama.
Lebih jauh apabila ini dibiarkan, maka distribusi ekonomi menjadi tidak adil, daya saing UMKM tertekan, dan rakyat kecil sulit merasakan manfaat pertumbuhan ekonomi yang diharapkan.
Tidak berpihak pada rakyat
Istilah Serakahnomics merujuk pada praktik ekonomi yang mementingkan keuntungan segelintir pihak tanpa memperhitungkan kepentingan rakyat. Wujudnya dalam hal ini bisa berupa kartel pangan, manipulasi harga, penimbunan barang pokok, hingga penguasaan sumber daya alam secara ilegal.
Serakahnomics tumbuh subur ketika tata kelola lemah, pengawasan minim, dan hukuman ringan. Di sektor pangan, misalnya, mafia beras dapat menimbun hingga jutaan ton, lalu melepaskannya saat harga naik. Rakyat akhirnya membayar harga yang lebih tinggi, sementara petani tidak menikmati hasil yang layak. Di sektor sumber daya alam, illegal mining dan sawit ilegal telah merugikan negara hingga triliunan rupiah, merusak lingkungan, dan menimbulkan deforestasi.
Praktik semacam ini tentunya mengancam esensi kemerdekaan ekonomi yang sedang berlangsung di Indonesia. Indikasi terhadap hal tersebut tercermin dari beberapa kondisi berikut ini.
Pertama, praktik kartel dan manipulasi harga menyebabkan inflasi rakus (greedflation), di mana harga naik bukan karena biaya produksi, melainkan karena kerakusan korporasi. Kedua, eksploitasi sumber daya ilegal menghancurkan modal alam, menciptakan banjir dan kekeringan, serta menurunkan produktivitas pertanian. Ketiga, lemahnya penegakan hukum membuat praktik serakah menjadi rasional, karena keuntungan lebih besar daripada risiko tertangkap.
Berdasarkan data ekonomi, fenomena ini menunjukkan ancaman ini nyata. Misalnya gini ratio Indonesia pada 2024 masih di kisaran 0,381, yang menandakan adanya ketimpangan distribusi pendapatan di tengah masyarakat. Sementara itu, harga beras medium pada awal 2025 sempat naik hingga Rp15.000 per kg, tertinggi dalam lima tahun terakhir, yang disinyalir sebagian karena ulah kartel. Angka ini memperlihatkan bahwa serakahnomics langsung dirasakan rakyat dalam bentuk mahalnya kebutuhan pokok di tengah kondisi ketimpangan dari distribusi pendapatan yang tidak merata.
Perbaikan tata kelola ekonomi kerakyatan
Konstitusi Indonesia sejak awal menekankan ekonomi kerakyatan. Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan cabang produksi penting dikuasai negara, dan bumi serta kekayaan alam dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Inilah antitesis dari serakahnomics.
Ekonomi kerakyatan menempatkan rakyat sebagai pusat kegiatan produksi dan konsumsi. UMKM yang jumlahnya lebih dari 65 juta unit menjadi tulang punggung ekonomi, menyumbang 61 persen PDB dan menyerap 97 persen tenaga kerja.
Namun UMKM masih menghadapi kendala akses pasar, logistik mahal, dan kalah bersaing dengan kartel besar. Inilah alasan mengapa kebijakan ekonomi ke depan harus berpihak pada UMKM, koperasi, dan usaha rakyat sebagai benteng melawan serakahnomics.
Selanjutnya dalam rangka mengantisipasi meluasnya fenomena serakahnomics menjadi implementasi nyata, secara konsepsi terdapat tiga agenda utama perlu dilakukan.
Pertama, penegakan hukum secara konsisten. Dalam hal ini salah satunya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus diperkuat untuk membongkar kartel pangan dan energi. Pengenaan denda kepada kartel sebaiknya dihitung berdasarkan keuntungan multi-tahun, bukan omzet tahunan, agar benar-benar menjerakan. Berikutnya kegiatan shadow economy pada sektor perkebunan sawit ilegal dan tambang ilegal juga perlu ditertibkan dengan penyitaan aset dan pemulihan lingkungan.
Kedua, transparansi data yang meliputi urgensi membangun dashboard pangan nasional oleh Pemerintah yang menampilkan data stok, harga, dan margin secara real-time. Di level teknis gudang besar wajib melaporkan stok harian, dengan ancaman pencabutan izin bila melanggar. Berikutnya yang tak kalah penting adalah adanya publikasi daftar hitam pelaku kartel dalam rangka memberikan efek jera sekaligus penguatan komitmen penegakkan hukum yang lebih tegas.
Ketiga, insentif bagi ekonomi kerakyatan harus diberikan secara proporsional. Dalam hal ini peran Koperasi Desa/Keluarahan Merah Putih harus menjadi motor penggerak untuk membantu membangun rantai pasok bagi UMKM harus dibantu dengan adanya insentif fiskal dan pembiayaan murah. Dalam konteks ini, Pemerintah dapat menetapkan kontrak harga minimum bagi petani, sehingga mereka terlindungi dari fluktuasi harga dan manipulasi pasar yang kerap terjadi sebagai bentuk modus operansi dari para kartel.
Jalan panjang menuju Indonesia Emas 2045
Untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 melalui penerapan ekonomi kerakyatan yang berdaya guna dan berhasil guna, arah kebijakan ekonomi harus dengan tegas berpihak pada rakyat banyak, bukan dikuasai oleh segelintir pelaku serakah yang menguasai sumber daya dan memonopoli distribusi.
Ekonomi kerakyatan hanya dapat tumbuh apabila negara hadir dengan instrumen kebijakan yang adil, transparan, serta berbasis data yang akurat. Dalam konteks ini, diperlukan sejumlah rekomendasi kebaruan agar visi ekonomi kerakyatan benar-benar terwujud, sekaligus menutup ruang gerak praktik serakahnomics.
Salah satu terobosan yang bisa dilakukan adalah pembangunan digital twin pangan, sebuah sistem berbasis data real-time yang mampu melacak pergerakan distribusi beras, gula, dan kebutuhan pokok lainnya mulai dari gudang hingga konsumen akhir. Dengan teknologi ini, pemerintah dan publik dapat melihat secara transparan di mana terjadi penimbunan, keterlambatan distribusi, maupun permainan harga oleh mafia pangan. Langkah ini akan menutup peluang manipulasi sekaligus memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan pangan nasional.
Selain itu, penguatan task force regional melawan perdagangan ilegal lintas negara juga mutlak dilakukan. Selama ini, peredaran barang ilegal—mulai dari pangan, BBM, hingga hasil tambang yang selama ini telah merugikan petani, nelayan, dan UMKM lokal. Dengan sinergi lintas aparat, pemerintah daerah, serta kerja sama internasional, task force ini bisa menjadi garda terdepan untuk memberantas praktik serakahnomics yang sering bersembunyi di balik celah perdagangan lintas batas.
Kebijakan lain yang dibutuhkan adalah harga kontingen, yakni mekanisme impor pangan yang diputuskan secara objektif berdasarkan indikator stok, produksi domestik, dan tren harga pasar, bukan karena lobi mafia atau kepentingan segelintir pengusaha besar. Dengan sistem ini, impor tidak lagi dijadikan alat spekulasi, tetapi benar-benar instrumen stabilisasi untuk menjaga kepentingan rakyat banyak.
Di sisi lain, penting pula membentuk dana pemulihan lingkungan dari aktivitas sawit dan tambang ilegal. Selama puluhan tahun, praktik eksploitasi serakah telah meninggalkan kerusakan lingkungan yang langsung dirasakan masyarakat sekitar. Dana pemulihan ini harus didesain untuk kembali ke desa-desa di sekitar hutan dan tambang, baik melalui perbaikan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi hijau, maupun investasi pendidikan generasi muda.
Terakhir, pemerintah dapat menerapkan transfer fiskal berbasis kinerja, yakni pola penyaluran dana pusat ke daerah dengan memberikan insentif lebih besar kepada pemerintah daerah yang berhasil menurunkan disparitas harga pangan, memperbaiki rantai distribusi, serta menertibkan aktivitas ilegal. Dengan cara ini, insentif fiskal tidak lagi bersifat seragam, melainkan diarahkan pada capaian konkret dalam melawan serakahnomics.
Melalui kombinasi langkah-langkah tersebut, Indonesia dapat menegakkan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan, sekaligus menutup ruang ekonomi rakus yang merugikan rakyat. Inovasi kebijakan inilah yang akan menjadi fondasi penting dalam perjalanan menuju Indonesia Emas 2045, di mana pertumbuhan ekonomi tidak hanya tinggi, tetapi juga merata dan berkelanjutan.
Pelajaran dari dunia internasional
Fenomena serakahnomics sejatinya bukanlah sesuatu yang unik terjadi di Indonesia. Ia merupakan persoalan global yang muncul ketika pelaku usaha besar, korporasi multinasional, atau bahkan jaringan ilegal memanfaatkan kelemahan regulasi dan celah pengawasan negara untuk mengeruk keuntungan berlebihan. Pelajaran dari berbagai negara menunjukkan bahwa tanpa intervensi kebijakan yang kuat, ekonomi rakus semacam ini bisa menggerus daya saing, merugikan masyarakat kecil, dan bahkan mengancam stabilitas negara.
Di kawasan Eropa, misalnya, Uni Eropa pada 2023 menjatuhkan denda sebesar €329 juta kepada dua perusahaan besar di sektor pesan-antar makanan karena terbukti melakukan kartel dan kesepakatan untuk tidak saling merekrut pekerja. Praktik semacam ini tidak hanya melanggar prinsip persaingan sehat, tetapi juga membatasi hak pekerja untuk mendapatkan peluang kerja yang lebih baik.
Di Prancis, pemerintah bahkan sempat menyoroti fenomena “shrinkflation” yaitu strategi perusahaan makanan yang diam-diam mengurangi ukuran produk tanpa menurunkan harga dan dinilai merugikan konsumen kecil.
Asia pun tidak luput dari fenomena ini. Di India, pasar biji-bijian dan gula kerap menjadi arena permainan kartel. Pemerintah India pada 2021 sempat membatalkan undang-undang pertanian kontroversial setelah protes besar-besaran petani yang menuding aturan tersebut hanya akan memperkuat dominasi korporasi besar dalam perdagangan hasil bumi.
Sementara di Tiongkok, pemerintah menindak tegas beberapa perusahaan teknologi raksasa seperti Alibaba dan Meituan karena praktik monopoli, termasuk memaksa pedagang online untuk hanya berjualan di satu platform.
Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa serakahnomics adalah persoalan global dengan wajah yang beragam: kartel, monopoli, perdagangan ilegal, hingga praktik predatoris dalam rantai pasok.
Namun, negara-negara yang relatif berhasil menekan dampaknya memiliki tiga kesamaan penting. Pertama, mereka menerapkan regulasi antikartel yang tajam serta berani membubarkan perusahaan atau membagi pasar yang terlalu terkonsentrasi.
Kedua, mereka membangun transparansi data rantai pasok, sehingga distribusi barang dapat dipantau secara real-time dan tidak bisa dimanipulasi. Ketiga, mereka menegakkan hukuman yang menjerakan, baik berupa denda besar, pencabutan izin usaha, maupun hukuman pidana bagi pelaku.
Dengan belajar dari pengalaman berbagai negara, Indonesia dapat memperkuat instrumen hukum, teknologi, dan tata kelola untuk mencegah praktik serakahnomics. Hal ini bukan semata soal menjaga persaingan sehat, tetapi juga soal memastikan bahwa ekonomi tumbuh dengan adil, memberi ruang bagi rakyat kecil, dan menopang cita-cita menuju Indonesia Emas 2045.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.