Jakarta (ANTARA) - Chief Economist Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas) Dzulfian Syafrian mengatakan pelemahan nilai tukar (kurs) rupiah dipengaruhi arahan pemerintah kepada bank Himbara (Himpunan Bank Negara) untuk menaikkan suku bunga deposito valuta asing (valas).
Nilai tukar rupiah pada pembukaan perdagangan hari Jumat di Jakarta melemah sebesar 26 poin atau 0,15 persen menjadi Rp16.775 per dolar Amerika Serikat (AS) dari sebelumnya Rp16.749 per dolar AS.
"Saya melihat salah satu faktornya adalah arahan pemerintah kepada para bank Himbara untuk menaikkan bunga deposito valas dengan tujuan menjaga stabilitas nilai tukar USD to IDR," ujarnya kepada ANTARA di Jakarta, Jumat.
Kendati demikian, respons dari pasar, investor, dan para pemegang rupiah malah mulai mengonversi rupiah ke valas karena lebih menguntungkan. Hal ini justru membuat nilai tukar rupiah semakin melemah.
Seharusnya, kata Dzulfian, yang harus diperkuat adalah instrumen-instrumen khusus aliran dana asing yang masuk ke Indonesia, seperti melalui instrumen devisa hasil ekspor (DHE), sekuritas rupiah Bank Indonesia (SRBI), atau obligasi global.
"Dengan catatan, hanya dana asing (capital inflow) yang mendapatkan insentif ini, sehingga meminimalisir konversi dana domestik dari IDR ke USD," ucap dia.
Bank Indonesia (BI) disebut pasti akan melakukan intervensi jika pelemahan kurs rupiah terlalu drastis. Namun, BI dinilai takkan terlalu kuat menahan terlalu lama karena keterbatasan cadangan devisa Indonesia.
"Apalagi isunya adalah bersifat struktural. Desain kebijakan yang mesti lebih ditingkatkan efektivitasnya,” ungkap Chief Economist Perbanas itu.
Baca juga: Rupiah Rp16.775 per dolar AS, BI kerahkan seluruh instrumen stabilisasi
Baca juga: Rupiah pada Jumat pagi melemah menjadi Rp16.775 per dolar AS
Baca juga: Rupiah melemah terkait persoalan disiplin fiskal pemerintah
Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.