Tahun 2026, dunia tidak menuju keteraturan baru

2 hours ago 2
Dunia kita tidak sedang menuju keteraturan baru, melainkan sedang belajar bertahan dalam kekacauan yang berulang dan tak kunjung reda

Jakarta (ANTARA) -
Kita cuma tinggal menghitung jam untuk segera menyambut datangnya tahun anyar 2026. Sayangnya, tahun 2026 datang bukan sebagai lembar baru yang benar-benar bersih.

Bisa dibilang tahun 2026 hadir sebagai kelanjutan dari dunia kita yang sudah lebih dulu retak, penuh bekas benturan kepentingan, dan makin miskin empati. Celakanya, retakan ini tidak sempat diperbaiki, hanya ditambal seperlunya. Selebihnya dibiarkan menganga.

Geopolitik global kiwari tampaknya tak lagi mengedepankan soal nilai. Hal yang lebih mengemuka justru transaksi, ancaman tarif, sanksi teknologi, dan unjuk kekuatan militer. Arena diplomasi lebih terasa seperti meja tawar-menawar. Siapa lemah, ia bakal membayar harga yang lebih mahal.

Dalam situasi seperti itu, ketahanan menjadi soal hidup-mati sebuah negara di tengah dunia yang kian brutal. Kesalahan kecil bisa berujung fatal. Politik ketahanan tidak selalu berarti siapa yang paling kuat, namun, justru sering ditentukan oleh siapa yang paling lentur membaca perubahan. Siapa yang kaku mudah patah. Siapa yang lentur bisa bertahan lebih lama.


Empat kategori

Dunia di tahun 2026 bakal diwarnai dengan setidaknya empat kategori negara. Ada kelompok negara yang adaptif, ada yang oportunis, ada yang melawan arus, dan ada pula yang kewalahan, tanpa pegangan. Meski demikian, empat kategori ini tidaklah hitam-putih. Banyak negara berdiri di wilayah abu-abu.

Kelompok pertama, negara-negara adaptif adalah mereka yang sadar bahwa dunia tidak bisa dikendalikan, tapi masih bisa dinegosiasikan. Fokus mereka bukan menguasai sistem, melainkan bertahan di dalamnya. Prinsipnya sederhana, yakni jangan bergantung pada satu pintu.

Negara adaptif tidak sibuk berteriak tentang tatanan ideal. Mereka cenderung lebih fokus memperluas pilihan, mendiversifikasi pasar, dan menjaga ruang manuvernya. Bagi kelompok ini, yang utama, roda ekonomi tetap bergulir.

Sekadar ilustrasi, China, misalnya, memilih memperkuat ekspor dan jejaring Global South sambil memoles diri sebagai jangkar stabilitas. Bukan karena idealisme, tapi demi terus bertahan. Stabilitas dijual sebagai produk politik.

Demikian juga India. Ia bertransaksi dengan siapa pun, dari Washington sampai Moskow, tanpa merasa perlu menjelaskan sikap moralnya ke publik global. Prinsipnya jelas bahwa kepentingan nasional di atas segalanya. Soal moral bisa dibicarakan belakangan.

Di sisi lain, ada kelompok negara oportunis. Mereka melihat kekacauan sebagai ladang emas. Ketidakpastian justru membuka ruang tawar. Di saat dunia kacau, peluang justru bisa lebih melebar.

Negara-negara Teluk termasuk dalam kelompok ini. Ketika dunia terbelah, mereka justru menjual diri sebagai mediator, investor, dan pusat teknologi baru. Perang di tempat lain menjadi peluang diplomasi di meja mereka. Modal finansial berubah menjadi modal politik.

Oportunisme bukan tanpa risiko, namun dalam dunia transaksional, kemampuan membaca peluang kerap lebih berharga daripada konsistensi ideologis. Mereka yang ragu akan tertinggal. Adapun yang berani mengambil celah bisa merangsek ke depan dengan cepat.

Kelompok ketiga adalah negara-negara yang memilih resisten. Mereka menolak tunduk sepenuhnya pada logika kekuatan. Mereka yakin dan percaya dunia tidak boleh sepenuhnya dikendalikan oleh senjata dan uang.

Gerakan resistensi ini tidak selalu datang dari negara-negara besar. Resistensi banyak muncul dari negara kecil, pun masyarakat sipil, dan juga aliansi nonformal. Mereka bergerak di ruang sempit, tapi justru di situlah ide-ide mereka lahir.

Mereka menolak normalisasi kekerasan, menolak perang sebagai instrumen bisnis, dan berusaha menjaga ruang etika di tengah dunia yang kian sinis. Suara mereka sering kalah nyaring, namun, bukan berarti tak berarti.

Masalahnya, menjadi resisten itu membutuhkan stamina politik dan ekonomi. Tidak semua sanggup membayar harga tersebut. Tekanan datang dari luar dan dalam. Kesalahan sedikit bisa berakibat runtuhnya legitimasi.

Kelompok yang terakhir adalah negara-negara yang paling rawan. Mereka terseret arus geopolitik global, tanpa kompas kebijakan dan kepemimpinan yang jelas. Kebijakan mereka sering reaktif. Hari ini satu arah, tiba-tiba besok berbalik arah.

Ketergantungan ekonomi, konflik internal, dan lemahnya institusi membuat negara-negara dalam kelompok ini menjadi objek, bukan subjek, dari tatanan global baru. Keputusan diambil orang lain, sementara dampaknya ditanggung rakyat sendiri. Ibarat pepatah, orang lain makan nangka, kita yang menerima getahnya.


Kemampuan adaptasi

David Chandler, pakar hubungan internasional dari Universitas Westminster, Inggris, pernah mengutarakan bahwa ketahanan bukan soal kembali ke kondisi lama, melainkan kemampuan beradaptasi di tengah ketidakpastian permanen. Nah, dunia kita, saat ini tidak lagi menyediakan zona nyaman berupa kepastian dan kestabilan.

Faktanya, kondisi dunia tidak sestabil seperti dulu. Maka, negara yang berharap kondisi normal kembali justru akan semakin tertinggal. Dalam hal ini, nostalgia menjadi semacam jebakan. Masa lalu tidak menyediakan peta untuk masa depan.

Dalam hal ini, Uni Eropa memberi contoh gamblang. Di satu sisi, ia berbicara tentang otonomi strategis, di sisi lain, ia masih berlindung di bawah payung keamanan Amerika Serikat (AS). Ia ingin mandiri, tetapi belum benar-benar siap berdiri sendiri.

Posisi setengah-setengah itu melahirkan kebijakan yang juga setengah matang. Anggaran pertahanan meningkat, namun arah politiknya tak sepenuhnya jelas. Ketahanan dipersempit menjadi soal senjata dan aliansi militer, bukan sebagai strategi sosial dan ekonomi yang menyentuh kehidupan sehari-hari.

Di titik inilah dampaknya mulai merembes ke bawah. Ketika negara sibuk mengurus postur pertahanan dan manuver geopolitik, biaya hidup justru melonjak. Pasar kerja tertekan, subsidi dipangkas, dan jaring pengaman sosial menipis. Ketahanan negara dibicarakan di ruang konferensi, sementara ketahanan warga diuji di dapur rumah tangga.

Tak heran jika warga Eropa -- dan kemudian warga di belahan dunia lain -- mulai kelelahan. Pasalnya, ketimpangan melebar, harga energi dan pangan terkerek naik, dan agenda geopolitik terasa kian jauh dari realitas sehari-hari. Rakyat diminta memahami strategi besar, dan menunggu hasil jangka panjang. Toh perut tak bisa menunggu. Ia harus diisi hari ini juga.

Itulah paradoks yang bisa terjadi di tahun 2026. Negara-negara sibuk bersiap perang, sementara rakyat sibuk bertahan hidup. Ketika jarak ini kian melebar, kepercayaan bisa ikut runtuh. Dan tanpa kepercayaan, ketahanan pun menjadi rapuh.

Ketika legitimasi politik melemah, kekuatan koersif sering dijadikan jalan pintas. Tapi, sejarah menunjukkan, hal itu hanya menunda krisis, bukan menyelesaikannya. Represi mungkin efektif sesaat. Namun, luka sosialnya bakal panjang.

Maka, politik ketahanan seharusnya bukan ihwal siapa paling agresif atau paling cepat bereaksi, melainkan siapa yang paling cerdas membaca situasi dan menghindari benturan yang tak perlu. Menang bukan selalu soal menjatuhkan lawan. Kadang, justru soal tidak ikut terseret ke dalam konflik.

Oleh karena itu, negara-negara yang mampu bertahan di 2026 adalah mereka yang paling tenang mengatur langkahnya. Mereka tahu kapan harus maju, kapan harus menepi, dan kapan harus diam.

Yang tersingkir bukan selalu yang miskin sumber daya, tapi yang gagal membaca perubahan dan selalu terjebak nostalgia pada tatanan lama. Padahal, dunia tidak pernah menunggu siapa pun. Ia bergerak terus, kadang tanpa aba-aba maupun peringatan.

Tahun 2026 akhirnya akan memperlihatkan satu kenyataan sederhana bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja. Dunia kita tidak sedang menuju keteraturan baru, melainkan sedang belajar bertahan dalam kekacauan yang berulang dan tak kunjung reda.

Walhasil, siapa yang paham, ia akan mampu bertahan. Siapa yang salah membaca, ia akan tersingkir. Apa boleh buat.

*) Djoko Subinarto adalah kolumnis, alumnus Departemen Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |