Pekanbaru (ANTARA) - Awalnya tidak banyak orang yang mengenal "Sukatani". Bahkan aliran musik punk yang diusung oleh band Sukatani terbilang minoritas dibandingkan aliran pop atau bahkan rock di Indonesia. Namun, kini sematan "the real band punk" justru dijatuhkan pada band yang lagu-lagunya sarat dengan kritik sosial ini.
Kritik sosial memang menjadi hal dinamis dalam negara demokrasi, yang menuntut rakyat untuk turut aktif dalam menyampaikan aspirasi serta arah kebijakan negara.
Sikap reaktif instansi kepolisan dalam mengatasi manajemen krisis, memunculkan efek Sukatani populer. Bukan soal benar atau salah, namun perlu dicermati bagaimana efek tersebut bisa muncul.
Grup band punk asal Purbalingga, Sukatani, mendadak menjadi perbincangan publik setelah lagu mereka yang berjudul "Bayar Bayar Bayar" mendapat sorotan. Makna yang muncul dalam lirik lagu, bukan lagi soal semiotika ataupun majas, namun makna lugas selayaknya ciri khas lirik punk tanpa basa basi, yang mana lirik tersebut menyinggung soal pembayaran kepada polisi dalam urusan administrasi dan tilang membuat mereka harus menyampaikan permintaan maaf secara terbuka.
Atas lirik lagu yang disampaikan dalam panggung terbuka serta berbagai platform musik, pada akhirnya, dua personel band, Muhammad Syifa Al Lufti alias Alectroguy dan Novi Citra Indriyati alias Twister Angel, harus mengunggah video klarifikasi yang ditujukan kepada Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dan institusi Polri di media sosial mereka.
Hal menarik muncul, bukannya meredakan kontroversi, tindakan ini justru membuat band Sukatani semakin dikenal. Dalam dunia komunikasi, fenomena ini dapat dikaitkan dengan "Efek Streisand", sebuah kondisi di mana upaya menekan suatu informasi justru membuatnya semakin viral. Awalnya, mungkin hanya segelintir orang yang mengetahui lagu tersebut, bahkan dibilang minoritas, tetapi dengan munculnya respons dari pihak berwenang, perhatian publik semakin tertuju pada Sukatani. Orang-orang yang sebelumnya tidak mengetahui band ini menjadi penasaran dan mencari tahu lebih lanjut tentang lagu mereka, yang akhirnya meningkatkan eksposur dan popularitas mereka secara drastis.
Lagu tersebut bahkan baru dibuat albumnya pada tahun 2023, jauh dari kata tenar dan populer sejak diluncurkan. Semenjak adanya perhatian khusus dari pihak kepolisian, reaksi tersebut justru berbanding terbalik dengan popularitas lagu. Jangankan meminta "take down" dari berbagai platform lagu seperti dalam ucapan permintaan maaf, justru banyak orang yang semakin mencari dan meng-unduh. Lagu juga sempat di-elu-elu-kan dalam berbagai kesempatan menyampaikan aspirasi.
Selain Efek Streisand, fenomena viral ini juga dapat dijelaskan melalui teori komunikasi, seperti "agenda-setting", di mana media berperan dalam membentuk perhatian publik terhadap suatu isu. Seiring dengan berkembangnya diskusi mengenai lagu "Bayar Bayar Bayar", media sosial dan portal berita ikut memperkuat narasi bahwa band ini tengah menghadapi tekanan. Akibatnya, publik semakin tertarik untuk mendengarkan lagu tersebut dan ikut membicarakannya. Hal ini juga berhubungan dengan teori "Uses and Gratifications", yang menjelaskan bagaimana masyarakat menggunakan media sosial untuk mencari hiburan, informasi, atau menyalurkan aspirasi mereka. Dalam konteks ini, lagu Sukatani menjadi simbol keresahan terhadap isu yang lebih luas dalam birokrasi.
Hal lain justru menjadi fokus perhatian para pakar serta pemerhati berita, respons kepolisian terhadap lagu ini juga menggambarkan bagaimana sebuah institusi mengelola krisis komunikasi. Dalam beberapa kasus, strategi komunikasi yang tidak tepat justru bisa menghasilkan efek yang berlawanan dengan tujuan awal. Alih-alih meredam isu, tindakan klarifikasi yang dilakukan malah memberikan ruang lebih besar bagi publik untuk mendiskusikan dan menyebarkan lagu tersebut. Hal ini pun semakin diperkuat dengan teori "Spiral of Silence", yang menggambarkan bagaimana isu yang viral dapat mendorong orang-orang yang sebelumnya diam untuk ikut berbicara dan berpendapat di media sosial.
Individu yang sebelumnya enggan mengenal punk, turut mencari tahu mengenai profil Sukatani. Fenomena menarik dari individu yang biasanya acuh pada isu sosial kini mulai tergerak dalam panggung media sosial, turut "like" bahkan "share" atas berita dukungan pada Sukatani. Hal tersebut sudah dianggap sebagai bentuk dukungan atau perlawanan terhadap keresahan yang terjadi.
Popularitas yang mendadak ini menjadi keuntungan tersendiri bagi Sukatani. Sebagai band punk yang identik dengan kritik sosial, kontroversi seperti ini justru memperkuat identitas mereka di mata publik. Dalam industri musik, banyak musisi yang secara tidak langsung mendapatkan eksposur lebih besar karena terlibat dalam perdebatan publik, dan Sukatani kini termasuk di antaranya. Dari segi kepolisian, kasus ini menjadi pelajaran bagaimana komunikasi dalam situasi krisis atau layak disebut sebagai manajemen krisis harus ditangani dengan strategi yang matang agar tidak berujung pada promosi tak disengaja bagi pihak yang memberikan kritikan.
Era digital merupakan arus yang sukar diprediksi, satu isu kecil dengan penanganan kurang cermat, maka bisa menjadi isu besar sesuai perhatian para netizen yang memantik ataupun dipantik dari seorang opinion leader.
Fenomena ini menunjukkan bahwa di era digital, sebuah isu dapat berkembang dengan cepat dan tidak terduga. Reaksi terhadap sebuah kritik tidak selalu menghasilkan efek yang diinginkan, dan dalam beberapa kasus, dapat semakin memperbesar gaung isu tersebut. Kontroversi Sukatani menjadi bukti bagaimana komunikasi dan strategi manajemen krisis memainkan peran besar dalam membentuk persepsi publik di tengah derasnya arus informasi di media sosial.
Copyright © ANTARA 2025