Stiker di dinding rumah dan luka di hati

1 hour ago 2

Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten Kepahiang, Bengkulu, beberapa waktu lalu memasang stiker bertuliskan “Keluarga Miskin” di rumah-rumah penerima bantuan sosial. Langkah ini diklaim sebagai bentuk transparansi dan validasi data penerima manfaat.

Namun di mata banyak orang, kebijakan tersebut terasa janggal alih-alih memberdayakan, justru berpotensi mempermalukan warga yang sedang berjuang keluar dari kemiskinan.

Secara hukum, program bantuan sosial memiliki dasar yang kuat, antara lain Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang percepatan penanggulangan kemiskinan dan Peraturan Menteri Sosial Nomor 1 tahun 2019 tentang penyaluran belanja bantuan sosial di lingkungan kementerian sosial.

Dalam pengertiannya, bansos tidak hanya ditujukan untuk mengentaskan kemiskinan dengan memberi bantuan untuk meringankan beban hidup tetapi juga dapat diaplikasikan sebagai pendukung potensi kemampuan soft skill guna mencapai kesejahteraan warga.

Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan contoh bansos dari pemerintah yang bersifat jangka panjang jika dibandingkan dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang hanya bersifat jangka pendek.

Tujuan utama bantuan sosial adalah mengurangi beban hidup tanpa mengorbankan martabat penerimanya. Namun, implementasi di Kabupaten Kepahiang justru menimbulkan dampak sosial yang berlawanan.

Mengutip salah satu media massa, laporan menyebutkan sekitar 500 keluarga penerima manfaat (KPM) memilih mengundurkan diri dari program bansos setelah rumah mereka dipasangi stiker “Keluarga Miskin”.

Bagi sebagian warga, terutama mereka yang masih berusaha mandiri secara ekonomi, pelabelan tersebut dianggap menyinggung harga diri dan mencoreng martabat keluarga. Bantuan sosial seharusnya diberikan tanpa mempermalukan penerimanya, sebab kemiskinan bukan aib yang perlu diumumkan secara publik (Wibowo, 2025).

Menurut Howard Becker melalui Labeling Theory (1963), identitas sosial seseorang dapat terbentuk dari label yang dilekatkan oleh masyarakat atau institusi. Ketika seseorang diberi label negatif, seperti “keluarga miskin”, label itu dapat menimbulkan stigma sosial dan mendorong individu untuk memandang dirinya sesuai cap tersebut (self-fulfilling prophecy).

Dalam konteks Kepahiang, pelabelan administratif berubah menjadi identitas sosial yang memalukan, sehingga warga merasa terhina dan memilih mundur dari program bantuan.

Sementara itu, Abraham Maslow menegaskan bahwa manusia memiliki hierarki kebutuhan, mulai dari kebutuhan fisiologis hingga kebutuhan akan harga diri dan penghargaan sosial (esteem needs). Ketika kebijakan publik tidak memperhatikan aspek psikologis ini, maka rasa hormat dan kepercayaan diri warga dapat terganggu, meskipun kebutuhan ekonomi terpenuhi. Kasus Kepahiang menunjukkan bahwa bagi sebagian warga, martabat lebih berharga daripada materi.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |