PBB (ANTARA) - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB) Antonio Guterres menyesalkan lambatnya progres dari program perempuan yang sudah disusun oleh lembaganya.
"Terlalu sering kita berkumpul di ruangan seperti ini, penuh keyakinan dan komitmen, tetapi gagal mewujudkan perubahan nyata dalam kehidupan perempuan dan anak perempuan yang terjebak dalam konflik," ujar Guterres dalam debat terbuka tahunan Dewan Keamanan PBB tentang perempuan, perdamaian, dan keamanan, seperti dilaporkan Xinhua, Selasa.
Menurut Guterres, persoalan perempuan kerap luput dari meja perlindungan ketika terjadi pembahasan soal inklusi.
Bagi dia, kondisi sejatinya tersebut merugikan semua pihak, bukan cuma perempuan.
"Kita berbicara soal inklusi, tetap perempuan masih sangat sering absen dari meja perundingan. Kita berbicara tentang perlindungan, tetapi kekerasan seksual masih terus terjadi tanpa hukuman. Kita berbicara soal kepemimpinan, tetapi pembangun perdamaian perempuan kurang didanai, terancam, dan kurang diakui. Dan kita semua merugi, baik wanita maupun pria, anak perempuan maupun anak laki-laki," kata Guterres.
Dia pun mengingatkan, 25 tahun sejak Resolusi Dewan Keamanan 1325 tentang agenda perempuan, perdamaian, dan keamanan diadopsi, kemajuan yang soal perempuan khususnya di pusaran konflik dicapai masih rapuh dan, yang sangat mengkhawatirkan, justru mengalami kemunduran.
Guterres menambahkan, di seluruh dunia, terdapat tren yang mengkhawatirkan dalam belanja militer, lebih banyak konflik bersenjata, dan kekerasan brutal terhadap perempuan dan anak perempuan yang semakin buruk.
Pada tahun 2024, misalnya, sebanyak 676 juta perempuan tinggal dalam radius 50 kilometer dari peristiwa konflik mematikan, angka tertinggi dalam beberapa dekade.
Kekerasan seksual melonjak, dengan insiden yang tercatat terhadap anak perempuan meningkat 35 persen. Di beberapa tempat, secara mengkhawatirkan, anak perempuan mencakup hampir setengah dari semua korban. Angka kematian ibu meningkat di zona krisis. Anak perempuan dikeluarkan dari sekolah. Perempuan dalam kehidupan publik, seperti politisi, jurnalis, pembela hak asasi manusia, menjadi sasaran kekerasan dan pelecehan, ungkapnya.
Meski organisasi perempuan masih menjadi penyelamat bagi jutaan orang dalam krisis, mereka kekurangan sumber daya. Dalam survei yang dilakukan oleh UN Women beberapa bulan lalu, 90 persen kelompok yang dipimpin oleh perempuan lokal di daerah konflik melaporkan kesulitan keuangan. Guterres menyampaikan, hampir separuh dari kelompok-kelompok diperkirakan akan tutup dalam enam bulan ke depan.
Agenda perempuan, perdamaian, dan keamanan harus menghasilkan perubahan yang terukur: lebih banyak perempuan yang terlibat dalam perjanjian perdamaian, reformasi keamanan, dan rencana pemulihan; lebih banyak penyintas yang dapat mengakses layanan dan keadilan; serta lebih banyak komunitas yang memanfaatkan vitalitas dan kekuatan dari seluruh masyarakatnya, paparnya.
"Resolusi 1325 jelas yaitu perempuan adalah pemimpin perdamaian untuk semua. Dunia tidak membutuhkan lebih banyak pengingat akan kebenaran itu, yang dibutuhkan adalah lebih banyak hasil yang mencerminkannya," tutur Guterres.
Pewarta: Xinhua
Editor: Michael Teguh Adiputra Siahaan
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.