Jakarta (ANTARA) - Dunia memperingati Hari Tanah Sedunia (World Soil Day) pada 5 Desember 2025, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dan Majlis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2014. Saat ini waktu yang tepat untuk merenungkan fenomena alam beberapa hari terakhir.
Banjir bandang, tanah longsor, jalan amblas, penurunan muka air tanah, tanah bergerak dan rentetan bencana lain tidak dapat dipandang sebagai kejadian alam yang berdiri sendiri.
Pada akhir November 2025, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah merilis data peringatan dini cuaca ekstrem, termasuk untuk Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Peringatan dini gawat darurat tersebut merupakan potensi bencana hidrometeorologi yang dipengaruhi Monsun Asia menjadi pemicu dominasi angin baratan yang membawa suplai massa udara lembab dalam jumlah besar dari Samudera Hindia.
Massa udara lembab bertemu langsung dengan topografi pegunungan di Bukit Barisan, melalui proses orographic lifting yang secara intens meningkatkan potensi pembentukan awan hujan lebat.
Selain itu, fenomena Indian Ocean Dipole negatif serta sektivitas Gelombang Rossby Ekuatorial turut memperkuat peluang pertumbuhan awan konvektif di daerah pesisir dan perbukitan.
Kondisi ini meningkatkan risiko tanah longsor, banjir bandang, genangan luas, angin kencang, petir/kilat. Kondisi ini tanpa basa basi dan sebelum sempat dicerna dan diinformasikan ke masyarakat sudah langsung terjadi seperti yang banyak dilaporkan media nasional dan lokal.
Data terakhir BNPB menyebutkan korban jiwa di tiga provinsi telah mencapai sedikitnya 600 orang meninggal dan lebih dari 200 lainnya masih hilang. Angka ini diperkirakan akan terus bertambah.
Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) sebagai organisasi profesi beranggotakan pakar dan praktisi ilmu tanah mulai mempromosikan pentingnya menjaga kesehatan tanah untuk kelangsungan peradaban manusia.
Dengan kejadian bencana nasional ini, sekaligus momentum Hari Tanah Sedunia, kita diingatkan kembali bahwa tanah bukan sekadar media tanam, melainkan fondasi ekosistem dan penyangga kehidupan di Bumi.
Ketika tanah kehilangan fungsi hidrologi, fisik, dan biologisnya, maka risiko bencana meningkat dan pembangunan kehilangan pijakan dasarnya.
Kerusakan tanah
Berbagai bentuk kerusakan tanah dapat kita lihat. Pertama, menurunnya kemampuan tanah menahan air. Istilah ini dikenal sebagai water holding capacity (WHC). Fungsi ini paling penting, ketika kemampuan ini menurun, maka tanah tidak cukup mampu menahan air, sehingga air hujan yang jatuh di atasnya segera hilang.
Dalam jumlah banyak memicu banjir, bahkan ikut membawa partikel tanah yang terbuka atau erosi. Laporan BRMP, Kementan menyebutkan selama kurun waktu 2020-2023, sekitar 52 persen daerah aliran sungai di Pulau Jawa mengalami penurunan infiltrasi lebih dari 30 persen. Artinya tanah telah kehilangan kemampuannya menahan air hujan.
Kedua, penurunan kemampuan tanah menahan air ini, terutama disebabkan oleh sifat fisik tanah yang sudah menurun. Bahan organik yang berfungsi sebagai bahan perekat tanah telah hilang.
Tanah dengan kandungan C-organik kurang 2 persen sudah sangat rendah kualitasnya, bahkan para pakar ilmu tanah menyebutnya sebagai tanah sakit. Hasil pemetaan C organik secara nasional menunjukkan lebih dari 60 persen lahan pertanian Indonesia memiliki C organik kurang 2 persen (BRMP, Kementan).
Penurunan kandungan bahan organik tanah ini disebabkan berbagai hal. Pertama, eksploitasi tanah secara berlebihan, tanpa adanya upaya konservasi terjadi di berbagai subsektor penggunaan lahan.
Kedua, terjadi alih fungsi lahan dari lahan bervegetasi rapat, seperti hutan menjadi lahan lebih terbuka, tegalan/ladang/huma tanpa konservasi. Vegetasi hutan ini bila tidak dikelola dengan baik akan kehilangan 30-70 persen bahan organiknya dalam kurun 20-50 tahun ke depan.
Data BPS menyebutkan dalam periode 2014-2023, secara umum terjadi penyusutan hutan, dan peningkatan non-hutan terutama perkebunan dan permukiman.
Global Forest Watch (2020–2024) mendata pada tahun 2020, hutan alam masih sekitar 94 juta ha atau hampir 50 persen luas daratan Indonesia, namun pada tahun 2024 hilang hingga 260 ribu ha, dan meningkatkan emisi sebesar 190 MtCO₂. Interaktif menunjukkan terjadi pergeseran dari hutan ke pertanian, terutama perkebunan.
Dalam kurun waktu tujuh tahun (2015-2022), data KLHK menyebutkan terjadi penyusutan hutan, terluas di Aceh 0,7 juta hektare, sedangkan di Sumatera Utara dan Sumatera Barat masing-masing 39.864 ha dan 25.435 ha.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































