Saat musik dihargai di ruang publik

1 month ago 13

Yogyakarta (ANTARA) - Lagu "Surat Cinta untuk Starla" mengalun dengan volume sedang di salah satu kafe sederhana di Kota Yogyakarta.

Lagu ciptaan Virgoun Putra Tambunan itu seolah menyatu dengan suara obrolan, denting sendok di gelas, dan tawa-tawa pelan pengunjung dari sudut-sudut meja siang itu.

Dari layar televisi yang tersambung ke beberapa speaker kecil, alunan musik berbagai genre yang diputar dari YouTube terus berganti, mengikuti selera pengelola atau sekadar iseng mengganti suasana.

"Kalau tanpa musik jadi sepi. kurang mengundang pengunjung," ucap Ibun, pengelola kafe itu saat berbincang dengan ANTARA.

Bagi Ibun, musik laksana nyawa yang mampu membuat suasana kafe lebih hidup. Tanpa ada alunan musik, ia khawatir para pengunjung merasa bosan dan lekas beranjak.

Namun, di balik kenyamanan yang tercipta dari lantunan lagu-lagu populer itu, tersimpan persoalan yang belum banyak dipahami pelaku usaha kecil, termasuk kafe maupun rumah makan yang menjamur di Kota Gudeg.

Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021, setiap pemanfaatan musik untuk tujuan komersial, termasuk di kafe, restoran, dan tempat makan, wajib disertai izin dari pemilik hak atau melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Artinya, lagu-lagu yang diputar, baik dari YouTube, flashdisk, atau layanan digital lainnya, seharusnya tidak digunakan secara sembarangan.

Sebagaimana ditegaskan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum, pemanfaatan itu juga wajib disertai pembayaran royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait.

Ibun mengaku belum pernah mendengar aturan tersebut. "Belum ada yang datang kasih tahu atau sosialisasi. Kalau harus daftar dan bayar royalti sepertinya akan ribet," ucapnya.

Kafe yang dikelola Ibun memang bukan usaha berskala besar. Menu di sana dijual dengan harga terjangkau, mulai Rp10.000 hingga paling mahal Rp17.000.

Pengunjungnya bervariasi, rata-rata 70 orang per hari, namun bisa melonjak hingga 300 orang saat akhir pekan atau musim libur.

Ia khawatir apabila kewajiban membayar lisensi musik diterapkan tanpa mempertimbangkan skala usaha, kafe sederhana macam miliknya bakal kesulitan.

Sosialisasi menjadi kunci

Kementerian Hukum (Kemenkum) melalui kantor wilayahnya di DIY menegaskan pentingnya kesadaran seluruh pelaku usaha terhadap perlindungan hak cipta dan royalti musik.

Regulasi mengenai royalti musik diakui belum sepenuhnya dipahami oleh banyak pemilik kafe, restoran, atau pelaku jasa hiburan lainnya di provinsi ini.

Sesuai beleid yang ada penarikan royalti musik untuk kegiatan komersial di ruang publik seperti kafe berlaku untuk semua kafe maupun restoran tanpa pengecualian, baik berskala kecil maupun besar.

Kepala Kanwil Kemenkum DIY Agung Rektono Seto mengatakan bahwa musik yang diputar di tempat usaha baik berskala kecil maupun besar tergolong pemanfaatan komersial dan wajib memiliki izin dari pemilik hak cipta atau LMKN.

Selama ini, musik kerap dianggap sekadar pelengkap suasana tanpa konsekuensi hukum, padahal undang-undang memberikan perlindungan eksplisit terhadap hak ekonomi pencipta lagu.

Karena itu, Kemenkum DIY saat ini masih menekankan pendekatan persuasif melalui berbagai forum sosialisasi berkait ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021.

Selain mengetahui aturan, pemerintah menargetkan pelaku usaha memahami secara saksama alasan pentingnya perlindungan hak-hak ekonomi para pencipta lagu.

Indonesia memiliki ribuan pencipta lagu yang berhak mendapat royalti. Ketika sebuah lagu diputar di tempat usaha, itu bukan sekadar musik latar, tapi kerja keras yang harus dihargai.

Menurut Agung, pemilik usaha yang ingin mengurus izin lisensi musik wajib mendaftar melalui laman resmi LMKN di www.lmknlisensi.id, karena pembayaran royalti hanya dapat dilakukan lewat lembaga tersebut, bukan lewat asosiasi.

Besaran royalti ditentukan berdasarkan skema yang disepakati, seperti persentase pendapatan harian atau tarif tetap.

"Bagi pemilik kafe kecil dapat mengajukan keringanan jika memenuhi kriteria sebagai UMKM," katanya.

Proses pembayaran royalti, dipastikan didesain secara terstruktur dan transparan sehingga para pelaku usaha tidak perlu khawatir akan mekanisme yang rumit.

Dengan cara tersebut, diharapkan ekosistem penggunaan musik di ruang publik dapat berkembang secara sehat dan saling menguntungkan.

Kendati belum diterapkan secara aktif, pemerintah memastikan bahwa mekanisme penindakan terhadap pelanggaran royalti musik sudah tersedia.

Jika imbauan tidak diindahkan, sanksi administratif, gugatan perdata, maupun pidana bisa diberlakukan. Penindakan tersebut melibatkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan aparat kepolisian, sesuai ketentuan Undang-Undang Hak Cipta.

Grup musik Shaggydog tampil di atas panggung saat perhelatan Soundsations "Karya Gak Tau Batas" di Pantai Mertasari, Sanur, Denpasar, Bali, Sabtu (24/11/2018). ANTARA FOTO/Ismar Patrizki/aww. (.)

Penghargaan karya musik

Bagi para pelaku musik, sistem lisensi dan royalti bukan semata soal uang, tapi juga penghargaan atas proses kreatif yang tidak mudah dan panjang.

Hal diakui Martinus Indra Hermawan, Manajer grup musik Shaggydog sehingga beberapa personelnya, khususnya penulis lagu telah mendaftarkan karya mereka ke Wahana Musik Indonesia (WAMI), salah satu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

"Prosesnya lumayan mudah dan gratis," katanya soal pendaftaran ke LMK.

Meski masih tergolong baru terdaftar, mereka berharap ke depan laporan dan distribusi royalti bisa lebih transparan dan merata.

Menurut Martinus, regulasi ini punya potensi memberi manfaat nyata bagi musisi lokal jika diiringi edukasi publik yang merata dan sistem distribusi yang adil.

Di banyak negara, urusan lisensi musik di ruang publik sudah menjadi hal yang lazim dan dipatuhi. Hal itu pula yang diharapkan Martinus agar keadilan terhadap hak cipta musisi juga bisa berlaku di Indonesia.

Sebagai band yang tumbuh dari komunitas lokal di Yogyakarta, Shaggydog berharap agar sistem perlindungan hak cipta ke depan bisa dijangkau semua kalangan kreatif di daerah, bukan hanya di kota besar. Selain itu, proses administrasi makin dipermudah sehingga royalti benar-benar sampai ke kantong musisi yang berhak.

Pendapat berbeda datang dari Agung Dwi Prakoso, vokalis band Poeng Bengsing asal Kota Gudeg.

Sebagai bagian dari band indie yang tengah merintis nama, Agung justru melihat pemutaran lagu mereka di kafe sebagai bentuk apresiasi awal sekalipun tanpa meminta izin.

"Apalagi ketika kafe memutar karya kami lalu men-tag di Instagram, aku malah seneng," ujar pria berambut gondrong itu.

Namun, ia menyadari regulasi dan formula perlindungan hukum bagi setiap karya musik amat penting sehingga langkah pemerintah untuk mendorong kesadaran royalti musik saat ini dinilainya sudah tepat.

Hanya saja, ia berharap mekanisme pengurusan lisensi dan hak cipta bisa dibuat lebih mudah, agar tidak membebani pelaku usaha maupun musisi baru.

Menurutnya, sosialisasi menjadi kunci utama yang perlu digencarkan.

Suara dari pelaku usaha

Bukan hanya pemilik kafe kecil seperti Ibun yang berharap kejelasan dalam aturan soal royalti musik.

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY juga mendorong pemerintah lebih aktif dalam menyosialisasikan regulasi ini secara menyeluruh ke para anggotanya di daerah.

Ketua PHRI DIY Deddy Pranowo Eryono mengatakan sebagian besar restoran anggotanya belum memperoleh informasi yang cukup detail, kecuali mengetahuinya dari pemberitaan media dan imbauan dari Badan Pimpinan Pusat (BPP) PHRI.

Meski demikian, Deddy mengaku telah mengimbau para anggotanya untuk menghindari pelanggaran hukum dengan mengikuti aturan yang berlaku, termasuk soal lisensi musik.

Menurutnya, penerapan aturan terkait dengan royalti musik tersebut tidak sepenuhnya mudah, akan tetapi pengelola restoran tetap bisa meminta penjelasan langsung kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Sebanyak 75 restoran anggota PHRI DIY yang tersebar di lima kabupaten/kota diharapkan Deddy segera mendapat sosialisasi atau proaktif mencari informasi, agar tidak ada pelanggaran hak cipta musik.

Pengunjung menikmati senja di Kafe Ombak Selatan, Baros, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. ANTARA/HO-Ombak Selatan (.)

Di sisi selatan Yogyakarta, tepatnya di Desa Baros, Kretek, Bantul, berdiri sebuah kafe sederhana bernama "Ombak Selatan." Di kafe yang berhadapan langsung dengan hamparan sawah itu, suara musik tidak menjadi menu wajib sebagai pengisi ruang.

"Suasana tempatku memang cocok untuk orang yang ingin menepi, jadi tanpa musik pun sudah cukup," ujar pemiliknya, Hendra Nurdiyansyah.

Berbeda dari banyak kafe yang menggantungkan atmosfer pada playlist musik digital, Ombak Selatan lebih mengandalkan nuansa dan suara alam.

Musik yang sesekali diputar pun sebagian besar lagu-lagu dari luar negeri, tanpa pola tetap, hanya menyesuaikan momen.

Hendra mengaku belum benar-benar memahami bagaimana regulasi royalti akan berlaku untuk musik asing, tapi jika aturan itu diterapkan secara menyeluruh dan adil, ia tidak keberatan.

Hendra yang juga berlatar belakang fotografer profesional menyadari betul ihwal pentingnya hak cipta sebagai sebuah penghargaan bagi peramu karya. Baginya, aturan soal royalti musik sewajarnya diterapkan tanpa pandang bulu.

"Aku paham betapa pentingnya hak cipta dan royalti dari sebuah karya. Kalau diterapkan ya untuk semua, enggak pandang bulu," ucap dia.

Pada akhirnya, setiap lagu yang diputar di ruang publik komersial bukan sekadar estetika atau pengisi suasana, tapi juga soal keadilan bagi mereka yang menciptakannya.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |