Sentuhan teknologi "coffee nose" untuk menjaga kualitas kopi Papua 

1 hour ago 2

Jayapura (ANTARA) - Kopi Papua sejak lama dikenal sebagai salah satu komoditas unggulan Indonesia. Dengan cita rasa khas yang lahir dari dataran tinggi pegunungan tropis, kopi Papua kerap dijuluki "emas hijau" karena nilainya yang tinggi, baik secara ekonomi maupun budaya.

Kini, kilau "emas hijau" tersebut semakin terang berkat program pemberdayaan kemitraan masyarakat yang digagas Universitas Cenderawasih bersama Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi.

Melalui program bertajuk “Pemanfaatan Teknologi Sensor Berbasis Gas Terintegrasi Ponsel Pintar untuk Uji Kualitas Komoditas Kopi” ini merupakan upaya Universitas Cenderawasih guna menghadirkan solusi inovatif menjawab tantangan yang dihadapi para pelaku usaha kopi di Papua.

Program yang didanai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi ini akan berlangsung selama satu tahun dengan fokus pada pemberdayaan masyarakat di bidang produksi kopi.

Universitas Cenderawasih juga telah berkolaborasi dengan Highland Roastery, sebuah UMKM kopi di Jayapura yang dipimpin oleh Yafeth Wetipo.

Highland Roastery bukan hanya sekadar tempat penjualan kopi, tetapi juga menjadi pusat edukasi dan pemberdayaan masyarakat di bidang perkopian. UMKM ini dikenal sebagai penyedia kopi arabika Papua dari berbagai daerah seperti Wamena, Yahukimo, Tiom, hingga Pegubin.

Selain itu, Highland Roastery juga mengelola coffee shop, tempat kursus, hingga layanan co-roasting. Dengan tagline “Good Farmer – Best Coffee – Better Quality”, Highland Roastery menjalin hubungan erat dengan petani lokal Papua untuk memastikan bahwa kopi yang diproduksi tidak hanya berkualitas tinggi, tetapi juga memberikan manfaat langsung bagi para petani.

"Bagi kami, menjaga kualitas kopi Papua adalah menjaga warisan," kata Yafeth Wetipo, menandaskan.

Dengan dukungan teknologi dari Universitas Cenderawasih, kopi Papua diharapkan akan semakin berkilau di pasar nasional maupun internasional.

Teknologi "coffee nose"

Meskipun terkenal dengan keunikan rasa dan aromanya, pelaku usaha kopi di Papua menghadapi kendala besar, yaitu terkait konsistensi kualitas. Selama ini, penilaian kualitas kopi masih banyak mengandalkan indra manusia. Uji organoleptik memang penting, namun sifatnya subjektif dan rawan perbedaan hasil.

Kondisi ini menyebabkan cita rasa kopi kerap tidak konsisten dari satu batch (bagian) ke batch berikutnya. Ketidakpastian kualitas tentu berpengaruh pada kepuasan konsumen. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menurunkan permintaan dan melemahkan daya saing kopi Papua di tengah pasar global yang semakin kompetitif.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, tim pengabdian dari Universitas Cendrawasih (uncen) menghadirkan teknologi ​​​​​​​yang dinamai "coffee nose". Alat ini menggunakan sensor gas untuk mendeteksi senyawa volatil yang muncul dari aroma kopi. Cara kerjanya meniru sistem penciuman manusia, tetapi dengan tingkat stabilitas, objektivitas, dan akurasi yang lebih tinggi.

Hasil pengukuran dapat ditampilkan secara real-time melalui layar sensor maupun terhubung dengan ponsel pintar atau tablet. Dengan begitu, pelaku UMKM dapat dengan mudah melakukan uji kualitas kopi tanpa harus mengirim sampel ke laboratorium yang biayanya mahal dan membutuhkan waktu lama.

Ketua Tim Pengabdian Universitas Cenderawasih Sony Wardoyo mengatakan dengan adanya coffee nose, pelaku UMKM kopi di Papua tidak perlu lagi bergantung pada uji laboratorium yang mahal dan memakan waktu. Teknologi ini membantu menjaga konsistensi kualitas kopi sehingga daya saing produk meningkat.

Tim pengabdian ini terdiri dari dosen Herbert Innah, Ph.D, dan Abraham, M.Si, serta mahasiswa Alexwan Kepno, Brian R. Rapak, dan Dian Devita Sari. Kolaborasi lintas generasi antara dosen dan mahasiswa ini diharapkan mampu melahirkan inovasi yang tidak hanya relevan di bidang akademis, tetapi juga berdampak langsung pada masyarakat Papua.

Penerapan teknologi "coffee nose" diharapkan mampu memberikan manfaat nyata bagi para petani dan pelaku UMKM kopi di Papua. Pertama, alat ini diharapkan dapat membantu menjaga konsistensi kualitas produk sehingga kepercayaan konsumen meningkat. Kedua, memungkinkan kopi Papua dipasarkan dengan standar mutu yang lebih jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.

Lebih jauh lagi, teknologi ini juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik kopi dari berbagai daerah di Papua, seperti Peneli, Kiwirok, Okbab, Sabin, Tiom, Tangma, Kurima, dan Pyramid. Setiap daerah memiliki cita rasa unik, dan alat "coffee nose" dapat membantu mengklasifikasikan aroma kopi berdasarkan asal usul maupun metode pengolahannya.

Dengan cara ini, kopi Papua tidak hanya dipandang sebagai satu kesatuan produk, tetapi sebagai rangkaian variasi dengan keunikan masing-masing, mirip dengan single origin coffee yang dihargai tinggi di pasar internasional.

Melalui kontrak nomor 297/UN20.2.1/AM/2025, program pengabdian ini resmi berjalan selama satu tahun penuh. Harapannya, inovasi yang dihasilkan tidak berhenti setelah program berakhir, melainkan dapat terus dikembangkan oleh Universitas Cenderawasih dan masyarakat Papua sendiri.

Sinergi antara perguruan tinggi, UMKM, dan masyarakat diharapkan mampu membawa kopi Papua naik kelas. Dengan dukungan teknologi modern, kopi Papua bukan hanya unggul karena cita rasanya yang khas, tetapi juga memiliki standar kualitas yang konsisten, objektif, dan terukur.

Kopi Papua memiliki potensi besar untuk bersaing di pasar nasional maupun internasional.

Inovasi teknologi seperti "coffee nose" hanyalah salah satu langkah awal sehingga de depan masih banyak peluang pengembangan lain yang bisa dilakukan, mulai dari diversifikasi produk, penguatan branding, hingga pemasaran berbasis digital.

"Dengan kolaborasi yang solid, kami yakin kopi Papua akan terus berkilau, membawa manfaat ekonomi bagi masyarakat, sekaligus menjaga identitas budaya yang melekat pada setiap cangkir kopi," ujar Wardoyo.

Pemilik Highland Roastery Yafeth Wetipo menilai alat tersebut sangat dibutuhkan pada dunia kopi karena berfungsi untuk mendeteksi gas warna kopi. Keuntungan dari penerapan alat tersebut ialah dalam proses penyaringan biji kopi bisa tepat sesuai dengan rencana roasting kopi hanya dengan mengukur gas dan warna kopi.

Alat ini sangat membantu dalam melakukan tahapan roasting kopi. Dengan menggunakan alat tersebut sudah bisa mengetahui tahapan proses pemanggangan biji kopi yang sesuai.

Alat seperti itu diharapkan dapat membantu banyak petani kopi Papua, di antaranya Amos Urwan. Dia adalah petani kopi arabika jenis typica. Sampai saat ini dia masih melakukan budi daya kopi secara konvensional.

Kopi arabika jenis typica termasuk salah satu kopi pertama yang masuk ke Papua pada zaman Belanda.

Arnos mengatakan harga kopi arabika yang diproduksinya saat ini Rp150 ribu hingga Rp200 ribu per kilogram.

Arnos sudah mengenal kopi sejak masih anak-anak karena ayahnya juga merupakan seorang petani kopi. Ketika selesai kuliah pada 2022, ia mulai aktif membudidayakan kopi Aaabika jenis typica.

Kemudian, di awal 2024 Arnos kembali ke kampung dan merangkul semua petani lokal di Distrik Okbab, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua Tengah menjadi satu kelompok yaitu Kelompok Tani Nunpe Kopi yang artinya kopi kami sendiri.

Aset daerah

Kopi Papua merupakan warisan kekayaan alam dan budaya yang menjadi simbol ketekunan, kualitas dan daya saing anak-anak Papua di kancah nasional maupun internasional.

Kopi Papua tidak hanya menjadi produk unggulan daerah tetapi juga berperan besar dalam menyerap tenaga kerja dan meningkatkan penghasilan masyarakat.

Kopi Papua saat ini sudah menembus pasar ekspor ke berbagai negara. Hal ini membuktikan kemampuan untuk bersaing di tingkat internasional.

Kopi Papua memiliki cita rasa khas mulai dari pegunungan hingga pesisir sehingga perlu ditingkatkan sebagai kekuatan ekonomi daerah sekaligus identitas budaya.

Pemerintah Provinsi Papua terus mendorong pelaku usaha kopi agar memperluas pasar dengan standar mutu internasional.

Penjabat Sekretaris Daerah Provinsi Papua Suzana Wanggai mengatakan kopi Papua bukan hanya sekadar komunitas melainkan jati diri masyarakat yang dapat memperkuat posisi daerah dalam perekonomian nasional maupun internasional.

Dengan demikian, pihaknya berharap sinergi antara pemerintah, perbankan dan masyarakat terus diperkuat sehingga kopi Papua semakin dikenal luas serta menjadi sumber Kesejahteraan bagi para petani kopi di berbagai daerah di Papua.

Potensi kopi di Papua cukup besar dan didukung oleh pemerintah setempat untuk meningkatkan produksi dan kualitas kopi. Namun, perlu dilakukan upaya lebih lanjut untuk meningkatkan kompetensi petani dan menguatkan promosi kopi Papua di pasar internasional.

Ada beberapa wilayah yang merupakan daerah penghasil kopi di Papua seperti Wamena, Papua Pegunungan. Daerah ini menjadi penghasil jenis kopi arabika dengan luas lahan tanaman kopi sekitar 32.679 hektare dengan produksi mencapai 161 ton kopi.

Kemudian Ambaidiru, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua yang merupakan daerah dengan luas tanaman kopi robusta sekitar 81,27 hektare dengan produksi mencapai satu ton kopi.

Jenis kopi arabika memiliki cita rasa yang ringan dan aroma yang harum, sementara kopi robusta dengan cita rasa harum dan kadar asam serta kafein yang tidak terlalu tinggi.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |