Saat kasasi menyentuh luka

3 days ago 7

Mataram (ANTARA) - Pagi di halaman Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), beberapa bulan lalu masih terekam jelas bagi siapa saja yang mengikuti perkara Agus Buntung.

Wajahnya yang tenang memasuki ruang sidang, kontras dengan dinamika hukum yang membelitnya, mulai dakwaan berlapis, keberatan hukum yang ditarik panjang di ruang peradilan, hingga opini publik yang terbelah antara solidaritas terhadap penyandang disabilitas dan seruan keras untuk keadilan bagi korban.

Kini, putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) menutup seluruh ruang perdebatan itu. Hukuman yang semula 10 tahun penjara dinaikkan menjadi 12 tahun, sesuai dengan tuntutan jaksa.

Putusan majelis hakim agung pada 25 November 2025 tersebut menegaskan bahwa hukum tetap harus menjaga marwahnya, sekalipun pelakunya adalah penyandang tunadaksa.

Dalam sistem peradilan, kasasi adalah ruang terakhir menguji penerapan hukum. Ketika MA menyatakan permohonan kasasi terdakwa ditolak, di sana terdapat pesan bahwa hukum substantif pada tingkat sebelumnya telah dianggap tepat, baik dalam pembuktian, penalaran, maupun penerapan pasal.

Namun, di balik keputusan yang final itu, perkara Agus justru membuka kembali tanya yang lebih luas. Seberapa siap sistem peradilan pidana Indonesia menangani perkara kekerasan seksual, ketika pelaku maupun korban memiliki kondisi khusus.

Pertanyaan ini penting, bukan karena menyoal “siapa yang harus dimenangkan”, melainkan bagaimana negara memastikan bahwa keadilan berpihak pada kebenaran, melindungi yang rentan, dan tidak mereduksi kompleksitas perkara kekerasan seksual menjadi sekadar hitungan tahun hukuman.


Keadilan dan kerentanan

Kasus Agus Buntung memperlihatkan betapa rumitnya perkara kekerasan seksual di ruang pengadilan. Di satu sisi, hukum harus mengakui bahwa penyandang disabilitas berhak mendapat akses peradilan yang setara, termasuk penyesuaian prosedur dan pertimbangan khusus, sebagaimana diatur dalam UU Disabilitas.

Di sisi lain, perkara kekerasan seksual memiliki karakteristik pembuktian yang tidak sederhana, seringkali minim saksi independen, dan sangat sarat relasi kuasa antara pelaku dan korban.

Majelis hakim tingkat pertama dan banding menyatakan Agus terbukti melakukan pencabulan lebih dari satu kali kepada beberapa korban dan melanggar Pasal 6 huruf c juncto Pasal 15 UU TPKS.

Fakta bahwa perbuatan dilakukan berulang kali menjadi faktor pemberat, sebagaimana dicatat jaksa dalam tuntutan 12 tahun penjara. Mahkamah Agung kemudian meneguhkan konstruksi itu dengan menambah hukuman dari 10 menjadi 12 tahun.

Dalam praktik hukum, putusan yang makin berat biasanya dibangun dari dua hal, yakni kualitas pembuktian pada tingkat sebelumnya dianggap cukup kuat, dan alasan permohonan kasasi tidak memenuhi syarat untuk dibenarkan.

Di sinilah jalan cerita hukum berbeda dari narasi publik. Pukul rata opini yang berkembang di masyarakat cenderung melihat perkara pelecehan seksual melalui kacamata emosional. Apakah mereka percaya pada korban atau pada terdakwa.

Namun, bagi majelis hakim, ukuran yang ditimbang adalah kesesuaian fakta persidangan dengan unsur pasal yang dilanggar.

Di titik inilah polemik muncul. Penasihat hukum terdakwa menilai pengadilan mengabaikan kebutuhan khusus penyandang disabilitas dan terlalu mengandalkan keterangan satu korban.

Majelis hakim menolak pandangan itu. Bagi hakim, kecacatan fisik tidak serta-merta meniadakan kemampuan seseorang melakukan perbuatan pidana, terlebih jika rangkaian bukti dan kronologi dinilai konsisten.

Perdebatan seperti ini sebenarnya menunjukkan benturan dua prinsip dasar, yakni perlindungan terhadap kelompok rentan dan hak korban atas keadilan. Keduanya sama-sama dijamin undang-undang.

Permasalahannya, dalam perkara yang sensitif dan minim saksi, seperti kekerasan seksual, menemukan titik temu kedua prinsip ini bukan perkara mudah.

Namun, MA dalam putusannya justru mempertegas pesan bahwa perlindungan tidak berarti impunitas. Penyandang disabilitas berhak mendapat pemenuhan akomodasi yang layak, tetapi tidak berarti kebal hukum.

Dalam relasi yang asimetris antara pelaku dan korban, yang harus diutamakan adalah memastikan kebenaran substantif tidak kabur oleh narasi yang menempatkan kerentanan pelaku sebagai alasan pemaaf.

Bagi publik, putusan ini bisa dibaca sebagai penguatan terhadap UU TPKS yang baru tiga tahun berjalan. Bagi sistem peradilan, ini menjadi contoh bagaimana pengadilan tinggi negara memberi sinyal kehati-hatian dalam menangani kasus kekerasan seksual yang sarat perdebatan publik.

Dan bagi para korban, keputusan itu menghadirkan pesan simbolik bahwa suara mereka tidak ditiadakan oleh kekaburan teknis hukum.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |