Jakarta (ANTARA) - Para penyintas kanker paru berharap agar pemerintah memberikan perhatian lebih besar terhadap akses obat inovatif, fasilitas kesehatan, serta edukasi deteksi dini kanker.
Patricia Susanna (55), arsitek sekaligus peneliti urban dan lingkungan, mengisahkan perjalanan panjangnya menemukan diagnosis kanker paru stadium 4 setelah melalui serangkaian pemeriksaan yang rumit dan mahal.
Salah diagnosis di awal membuat penanganannya terlambat, sementara biaya pengobatan kini mencapai ratusan juta rupiah setiap bulan.
“Dukungan pemerintah melalui Jaminan Kesehatan Nasional yang inklusif serta akses ke terapi inovatif sangat berarti agar kami bisa tetap hidup dengan kualitas yang lebih baik,” ujar Susan kepada media di Jakarta, Rabu.
Susan menekankan perlunya ketersediaan obat-obatan terbaru di Indonesia.
Menurut dia, masih banyak terapi inovatif yang sudah digunakan di luar negeri, namun belum bisa diakses pasien dalam negeri.
Baca juga: CISC dorong peningkatan sistem kesehatan berorientasi kepada pasien
Ia juga menyoroti minimnya fasilitas diagnostik yang membuat banyak kasus baru diketahui saat sudah memasuki stadium lanjut.
Senada dengan itu, Rachmayunila (54) yang akrab disapa Nila, juga menyampaikan perlunya memperluas program skrining dan edukasi kesehatan masyarakat.
Mantan karyawan swasta di industri manufaktur ini didiagnosis kanker paru stadium 4 setelah pemeriksaan medis rutin menemukan cairan di paru-paru.
“Perluasan skrining dan deteksi dini sangat penting agar kasus kanker stadium lanjut bisa ditekan. Banyak orang masih berpikir kanker paru hanya menyerang perokok aktif, padahal paparan polusi, asap rokok pasif, dan faktor lingkungan lain juga berisiko,” ucap Nila.
Ia menambahkan, komunitas pasien perlu dilibatkan lebih aktif sebagai jembatan suara penyintas dalam kebijakan kesehatan.
Selain itu, dukungan masyarakat sangat penting untuk menghapus stigma dan menciptakan lingkungan yang aman bagi pasien.
Menurut jurnal European Journal of Cancer, sekitar 10–25 persen kasus kanker paru di dunia terjadi pada orang yang tidak pernah merokok.
Fakta ini, kata Nila, harus menjadi dasar kampanye publik untuk meningkatkan kewaspadaan.
Kedua penyintas yang berada di bawah naungan Cancer Information and Support Center Association (CISC) itu menekankan bahwa deteksi dini dan akses pengobatan yang merata dapat menyelamatkan lebih banyak nyawa.
Mereka berharap pemerintah mempercepat pemerataan fasilitas kesehatan, memperluas cakupan BPJS untuk pemeriksaan kanker, serta membuka akses lebih luas terhadap terapi inovatif.
“Kalau bisa dicegah lebih baik. Cukup kami yang menjadi penyintas, masyarakat lain harus lebih aware sejak dini,” kata Patricia Susanna.
Baca juga: Kebiasaan yang bisa merusak paru-paru meski tak merokok
Baca juga: Polusi udara berpengaruh terhadap mutasi kanker paru bagi nonperokok
Pewarta: Adimas Raditya Fahky P
Editor: Indriani
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.