Jakarta (ANTARA) - Pengamat intelijen Dr Stepi Anriani menyebut bahwa Indonesia perlu memperkuat peran intelijen ekonomi guna menghadapi dampak dari perang tarif global yang tengah memanas saat ini, pasca adanya kebijakan tarif impor Amerika Serikat (AS).
Menurut dia, perang tarif secara terbuka pada 2025 ini merupakan kelanjutan dari perang dagang 2018–2020 yang kala itu belum terekspos secara vulgar, tetapi sudah menyebabkan penurunan perdagangan dunia sebesar 3 persen dan GDP global turun 0,8 persen.
“Tarif 32 persen terhadap impor dari Indonesia bukan angka kecil. Tiongkok bahkan menghadapi situasi yang lebih parah akibat balasan perang tarif karena transhipment yang digagasnya,” kata Stepi dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Ia menyoroti bahwa fragmentasi ekonomi global saat ini tidak hanya mengubah rantai pasok dan tata kelola ekonomi dunia, tetapi juga membentuk blok-blok ekonomi baru yang berpotensi mengisolasi negara-negara tertentu.
Dia menyebut ada tiga kemungkinan sikap negara-negara di dunia dalam menghadapi situasi ini. Pertama; negara-negara akan membentuk blok ekonomi baru untuk melawan dominasi Amerika Serikat, kedua; negara-negara mengikuti skenario AS dan tunduk pada hegemoninya, dan ketiga; negara-negara mencoba bersikap netral melalui negosiasi yang lebih lunak.
Dalam konteks ini, Indo-Pasifik menjadi kawasan yang sangat strategis namun juga rentan terhadap konflik terbuka. Ketegangan yang meningkat di kawasan Laut Tiongkok Selatan, konflik Rusia-Ukraina, dan situasi di Timur Tengah menjadi indikator bahwa dunia tengah menghadapi skenario geopolitik yang kompleks.
“Indonesia berada di jantung kawasan Indo-Pasifik, yang merupakan episentrum pertumbuhan ekonomi dan inovasi. Posisi ini memberikan tanggung jawab besar bagi Indonesia untuk mengambil peran strategis dalam mencegah konflik terbuka,” kata dia.
Untuk itu, menurutnya, ada beberapa langkah strategis yang harus diprioritaskan pemerintah Indonesia, antara lain memperkuat struktur ekonomi domestik, menjaga daya beli masyarakat, menarik investasi, serta melakukan diversifikasi perdagangan dan kemitraan strategis multilateral.
Ia juga menekankan bahwa memperkuat solidaritas dan peran aktif di forum ASEAN, diplomasi adaptif, serta membangun kepercayaan publik baik di tingkat nasional maupun internasional, merupakan hal yang penting untuk dilakukan.
“Intelijen ekonomi harus ditingkatkan sebagai alat deteksi dini terhadap dampak perang tarif. Sinergi antara intelijen, pembuat kebijakan, dan pelaku usaha sangat penting agar Indonesia siap menghadapi tekanan ekonomi eksternal,” kata dia.
Selain itu, dia mendorong agar Indonesia memimpin inisiatif dialog konsultatif antar negara-negara berkembang atau "Global South Economic Dialogue Initiative" guna memperkuat posisi tawar negara-negara berkembang dalam sistem ekonomi global yang adil dan inklusif.
Ia juga menyampaikan bahwa momentum krisis harus dimanfaatkan sebagai pemicu transformasi ekonomi, percepatan digitalisasi, serta transisi menuju ekonomi hijau dan energi terbarukan.
“Indonesia harus aktif membuka perdagangan ke kawasan potensial seperti Eropa, Asia Selatan, dan Timur Tengah sebagai alternatif dari ketergantungan terhadap pasar AS,” katanya.
Menurut dia, diplomasi yang dijalankan pemerintah saat ini, termasuk kunjungan-kunjungan kenegaraan dan kerja sama dengan negara-negara Timur Tengah, menunjukkan upaya membangun posisi sebagai "middle power" yang berperan sebagai penyeimbang di tengah rivalitas kekuatan besar dunia.
“Indonesia perlu terus memperkuat ketahanan domestik dan menjadikan kolaborasi sebagai kunci dalam menghadapi tantangan global,” kata dia.
Baca juga: Ekonom Unand kebijakan tarif Trump ciptakan kekacauan yang disengaja
Baca juga: DPD minta Pemerintah siapkan langkah konkret hadapi kebijakan tarif AS
Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2025