Jakarta (ANTARA) - Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI) Haidar Alwi berharap kewenangan jaksa yang berlebih atas nama asas dominus litis tidak dilegalisasi melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Kejaksaan dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Haidar Alwi menilai kewenangan berlebih jaksa bisa mengabaikan pemeriksaan dan keseimbangan (checks and balances), menimbulkan ketidakpastian hukum, menyebabkan kegaduhan, dan carut-marut penegakan hukum.
"Ini juga tidak sesuai dengan misi Astacita Presiden Prabowo Subianto mengenai transformasi hukum," ucap Haidar dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, kasus pagar laut Tangerang dan kasus korupsi timah merupakan dua contoh ketidakpastian hukum yang disebabkan oleh kewenangan berlebih jaksa.
Kasus pagar laut Tangerang, kata dia, setidaknya ditangani oleh tiga lembaga penegak hukum, mulai dari Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga kejaksaan.
Polri mengusut dugaan pidana umumnya, sedangkan KPK dan kejaksaan sama-sama mengusut dugaan pidana korupsinya.
"Antara KPK dan kejaksaan, dua lembaga penegak hukum, yang menangani satu kasus korupsi jelas tidak efisien dan menyebabkan ketidakpastian hukum," tutur dia.
Untuk menghindari hal seperti itu, kata dia, KUHAP yang berlaku saat ini mengatur pemisahan fungsi kewenangan lembaga penegak hukum, yakni Polri dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut umum, dan hakim sebagai pengadil.
Sementara itu, KPK sebagai lembaga ad hoc yang diberi tugas khusus dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dengan gabungan fungsi penyidikan sekaligus penuntutan.
Namun, kata Alwi, kewenangan jaksa sebagai penyidik tindak pidana tertentu dalam UU Kejaksaan telah mengganggu keteraturan penegakan hukum tersebut.
"Padahal, tindak pidana tertentu bukan hanya korupsi. Kini jaksa terkesan lebih 'KPK daripada KPK' hingga menutupi fungsi utamanya sebagai penuntut umum," ungkap Haidar menambahkan.
Selain itu, ketidakpastian hukum akibat kewenangan berlebih jaksa, sambung dia, tercermin pula dari kasus timah. Kehebohan kasus timah sebagai kasus korupsi terbesar di Indonesia bertolak belakang dengan vonis hakim.
Dampaknya, lanjut dia, bukan hanya merugikan pelaku dan keluarga karena telanjur mendapatkan predikat koruptor terbesar, tetapi juga merugikan hakim karena dinilai sebagai pihak yang prokoruptor.
"Padahal, itu terjadi karena kegagalan jaksa membuktikan tuntutan dan dakwaannya di pengadilan," katanya.
Baca juga: Lemkapi ungkap dampak yang bisa timbul dari revisi UU Kejaksaan-KUHAP
Baca juga: MA usul RKUHAP persingkat sidang yang ancamannya di bawah tujuh tahun
Awalnya, dia menyebutkan Kejaksaan Agung mengumumkan kerugian negara sebesar Rp271 triliun, yang diralat menjadi Rp300 triliun. Angka itu diperoleh Kejaksaan Agung dari hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan perhitungan ahli.
Dari besaran tersebut, sebanyak Rp271 triliun di antaranya diklaim sebagai kerugian ekologis, sedangkan sisanya senilai Rp29 triliun sebagai kerugian keuangan negara.
Berdasarkan vonis hakim soal uang penggantinya, lanjut Haidar, uang korupsi kasus timah yang diterima 17 terdakwa tidak sampai Rp15 triliun. Artinya, terdapat selisih sekitar Rp285 triliun dari dakwaan jaksa.
Alwi berpendapat bahwa hal itu terjadi karena jaksa bertindak sebelum jelas dan nyata kerugian negara dihitung berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dengan demikian, jaksa melakukan penyelidikan, penyidikan, dan menentukan auditor sendiri.
"Namun, ternyata keliru dan mereka tuntut sendiri. Korupsi itu kerugian negaranya harus actual loss (nyata), bukan potential loss (perkiraan)," ujarnya.
Ia menilai hal tersebut akan berbeda jika penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh kepolisian karena jaksa dapat mengoreksinya atau jika penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan dilakukan oleh KPK karena penyidiknya terdiri atas gabungan polisi, jaksa, dan PPNS.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2025