Jakarta (ANTARA) - Peneliti bidang pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai surplus produksi telur nasional sebesar 200 ribu ton per tahun bisa menjadi instrumen strategis dalam negosiasi dengan Amerika Serikat (AS) terkait dengan penerapan tarif resiprokal sebesar 32 persen terhadap Indonesia.
"Apakah surplus telur bisa jadi bahan negosiasi dengan AS? Bisa! Akan tetapi, hemat saya, untuk bernegosiasi dengan AS kita perlu menyusun secara menyeluruh agar tidak parsial per komoditas," kata Khudori dihubungi ANTARA di Jakarta, Kamis.
Dia menyampaikan hal itu ketika dimintai tanggapan mengenai pernyataan Menteri Koordinator Bidang Pangan (Menko Pangan) Zulkifli Hasan (Zulhas) yang menyebut komoditas telur memiliki peluang menjadi alat negosiasi dengan Amerika Serikat (AS) terkait dengan penerapan tarif resiprokal terhadap Indonesia.
Indonesia berpotensi besar memasok telur ayam konsumsi ke negara-negara yang sedang mengalami gangguan produksi akibat wabah HPAI termasuk Amerika Serikat (AS), yang diberitakan mengalami defisit tinggi hingga mengerek harga telur mencapai 4,11 dolar AS setara Rp68 ribu.
Komoditas telur di tanah air mengalami surplus secara nasional hingga 288,7 ribu ton atau setara 5 miliar butir per bulan.
Menanggapi hal itu, Khudori menuturkan meskipun telur bisa menjadi alat perundingan dagang bilateral, hanya saja dia mengingatkan menjadikan telur sebagai komoditas ekspor ke AS bukan perkara mudah karena membutuhkan penanganan logistik khusus serta pemenuhan berbagai persyaratan karantina yang ketat di pasar internasional.
Menurut dia, peluang menjadikan telur sebagai alat diplomasi perdagangan tetap terbuka, asalkan dirancang dalam kerangka kebijakan menyeluruh, tidak sekadar fokus pada satu komoditas secara parsial dalam perundingan dagang bilateral.
Ia menambahkan surplus telur seharusnya tidak menjadi beban seperti yang kerap terjadi di industri unggas, tetapi perlu diatasi dengan memperkuat hilirisasi agar menciptakan nilai tambah dan kesejahteraan peternak ayam dalam negeri.
"Salah satu masalah di industri unggas baik telur atau ayam adalah memanfaatkan surplus. Surplus yang terjadi bukan menambah sejahtera tapi seringkali jadi masalah. Itu yang terjadi di unggas. Karena itu hilirisasi penting. Telur dan daging ayam masih perlu dorongan kuat untuk hilirisasi," ucapnya.
Selain itu, kebutuhan besar dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diproyeksikan dapat menyerap surplus telur nasional, bahkan menciptakan defisit hingga 200 ribu ton per tahun saat menjangkau 82,9 juta sasaran penerima manfaat.
Khudori juga menyoroti industri unggas yang bersifat biologis dan tidak bisa dinaikkan produksinya secara instan sehingga ia mendorong adanya strategi pemenuhan kebutuhan telur dari sekarang, termasuk melalui hilirisasi dan penguatan rantai pasok nasional.
Baginya, hal itu menjadi momentum dan peluang besar membuka investasi serta lapangan kerja, dengan syarat memastikan sinkronisasi antara kebutuhan domestik, rencana ekspor, dan kesiapan berbagai lembaga terkait dalam merumuskan arah kebijakan.
Baca juga: Ekonom sebut negosiasi tarif AS perlu juga bahas realisasi investasi
Baca juga: Ekonom: Tambah impor dari AS bisa jadi strategi hadapi tarif Trump
Baca juga: Ekonom: Penundaan tarif AS jadi momentum konsolidasi kebijakan dagang
Baca juga: Ekonom usul peningkatan kesepakatan dengan negara lain hadapi tarif AS
Pewarta: Muhammad Harianto
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2025