Jakarta (ANTARA) - Pemerintah memastikan aspek lingkungan, sosial dan tata kelola atau environment, social and governance (ESG) terintegrasi dalam kebijakan transisi energi Indonesia.
Tenaga Ahli Menteri ESDM Satya Hangga Yudha Widya Putra dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, mengatakan untuk aspek tata kelola, dipastikan setiap proyek mematuhi prosedur ketat dan Amdal atau perizinan lingkungan.
"Sektor energi adalah pekerjaan lintas sektoral, sehingga Dewan Energi Nasional (DEN) yang diketuai Presiden dan Menteri ESDM sebagai Ketua Harian sangat krusial," ujarnya.
Pada aspek sosial, setiap proyek energi baru dan terbarukan (EBT) harus memberikan manfaat nyata bagi masyarakat setempat.
"Harapannya, proyek EBT bisa membuat kebahagiaan dan melibatkan semua lapisan masyarakat," ujarnya dalam acara Youth Action Festival (Yafest) Chapter Jakarta.
Hal ini diwujudkan pula melalui program CSR yang mencakup pemberian kesempatan kerja, transfer of knowledge dan transfer of technology.
Sementara pada aspek lingkungan, komitmen untuk mengurangi ketergantungan diesel (dedieselisasi) di daerah 3T (tertinggal, terluar dan terdepan) menjadi kunci dalam fase transisi yang transparan ini.
Ia menegaskan bahwa tanpa peraturan dan regulasi yang tepat, investor akan melambat dan tanpa investor, transisi energi tidak akan berjalan.
Hangga juga memaparkan bahwa visi Just Energy Transition (JET) harus sejalan dengan bonus demografi dan memerlukan penyeimbangan antara kebutuhan energi yang adil dan komitmen terhadap energi bersih yang inklusif.
Menurut dia, pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan porsi EBT melalui pemanfaatan surya, bayu, panas bumi, air, nuklir, bioenergi, sampah, terutama periode 2025 hingga 2034 sesuai dengan rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) yang mengamanatkan 60 persen tambahan kapasitas berasal dari EBT.
Sebagai negara berkembang, Hangga menekankan bahwa Indonesia harus menyeimbangkan tiga pilar utama dalam menggarap energi yakni affordability (murah dan terjangkau), accessibility (akses ke seluruh wilayah) dan availability (ketersediaan sumber energi).
Terkait kekhawatiran krisis energi akibat fluktuasi geopolitik global, Hangga memandang beralih ke EBT adalah solusi utama.
Ia menyoroti tingginya impor minyak dan LPG yang menyebabkan ketergantungan pada negara luar.
"Apabila kita menggunakan EBT seperti surya, hidro, panas bumi, sampah, itu kan sumber alternatif yang bisa diakses terlepas apapun yang terjadi di luar," katanya.
Dengan beralih ke EBT, sebut Hangga, Indonesia dapat menjadi negara yang self-sustainable dan tidak lagi bergantung pada pasokan energi dari luar.
Baca juga: Program desa energi Pertamina Patra Niaga meraih penghargaan ESG
Baca juga: Pertamina maksimalkan ESG melalui inovasi pemberdayaan masyarakat
Baca juga: MIND ID tegaskan komitmen ESG untuk tambang berkelanjutan
Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































