Jakarta (ANTARA) - Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan periode 2024-2025 Muhammad Arif Nuryanta atau mantan Ketua PN Jaksel itu dituntut pidana penjara selama 15 tahun terkait kasus dugaan suap terhadap putusan lepas (ontslag) perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) pada tahun 2023-2025.
Dalam sidang pembacaan surat tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, Jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Agung (Kejagung) Syamsul Bahri Siregar meyakini Arif telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima suap secara bersama-sama.
"Hal ini diancam pidana dalam Pasal 6 ayat (2) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP," kata JPU dalam sidang itu.
Selain pidana penjara, JPU menuntut agar Arif dijatuhkan pidana denda sebesar Rp500 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
Arif juga dituntut agar dikenakan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp15,7 miliar, dengan memperhitungkan aset terdakwa yang telah dilakukan penyitaan dalam penyidikan sebagaimana pembayaran uang pengganti berupa bangunan dan tanah.
Baca juga: Nikita Mirzani divonis empat tahun penjara dan denda Rp1 miliar
Adapun hukuman tersebut diikuti dengan ketentuan apabila terdakwa tidak dapat membayar uang pengganti tersebut paling lama 1 bulan setelah putusan memiliki kekuatan hukum tetap, maka harta benda terdakwa dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar uang pengganti tersebut.
"Dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda lagi yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 6 tahun," ungkap JPU.
Sebelum melayangkan tuntutan, JPU mempertimbangkan perbuatan Arif yang tidak mendukung program rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), telah mencederai kepercayaan masyarakat khususnya terhadap institusi lembaga peradilan yudikatif, serta telah menikmati hasil tindak pidana, sebagai hal memberatkan.
"Sementara hal meringankan yang dipertimbangkan, yakni terdakwa belum pernah dihukum," tutur JPU.
Dalam perkara tersebut, Arif didakwa menerima suap senilai Rp15,7 miliar saat menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.
Suap diduga diterima dari Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan Syafei selaku advokat atau pihak yang mewakili kepentingan terdakwa korporasi pada kasus CPO, yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Baca juga: Polisi ungkap pelajar di bawah umur berlaku anarkis saat demo di DPR
Uang diterima bersama-sama dengan Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan, beserta tiga hakim yang menyidangkan kasus tersebut, yakni Djuyamto, Ali Muhtarom, dan Agam Syarief Baharudin, dengan total sebesar 2,5 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp40 miliar.
Secara perinci, uang suap yang diterima Arif, Wahyu, serta ketiga hakim lainnya diterima sebanyak dua kali. Penerimaan pertama berupa uang tunai 500 ribu dolar AS atau senilai Rp8 miliar, yang diterima Arif sebesar Rp3,3 miliar; Wahyu Rp800 juta; Djuyamto Rp1,7 miliar; serta Agam dan Ali masing-masing Rp1,1 miliar.
Kemudian penerimaan kedua berupa uang tunai 2 juta dolar AS atau senilai Rp32 miliar, yang dibagi kepada Arif sebesar Rp12,4 miliar; Wahyu Rp1,6 miliar; Djuyamto Rp7,8 miliar; serta Agam dan Ali masing-masing Rp5,1 miliar.
Atas perbuatannya, Arif didakwa melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 atau Pasal 12 B jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































