Pelajaran dari maaf pejabat

2 hours ago 1
Politik yang sehat lahir ketika pejabat menyadari bahwa setiap kata dan tindakan harus selaras dengan sumpah jabatan dan kode etik

Jakarta (ANTARA) - Dalam bulan-bulan terakhir, publik menyaksikan fenomena menarik: gelombang permintaan maaf dari sejumlah pejabat publik.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa harus meralat ucapannya yang menyebut "tuntutan rakyat 17+8" hanya berasal dari sebagian kecil masyarakat. Menteri ATR/Kepala BPN Nusron Wahid meminta maaf karena candaan soal tanah terlantar menuai protes.

Dari Parlemen, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyampaikan permintaan maaf atas kekeliruan lembaga legislatif, Ahmad Sahroni menyesali ucapannya yang menyebut pengritik DPR sebagai "orang tolol sedunia", dan Eko Patrio mengunggah video permintaan maaf setelah tingkah lakunya dinilai tidak pantas.

Masih ada pejabat lain yang tidak disebutkan di sini yang melakukan permintaan maaf karena keselip lidah.

Rentetan permintaan maaf ini tentu sesuatu yang mulia dan baik karena menunjukkan bahwa pejabat masih peduli terhadap reaksi dan kritik publik.

Namun, masyarakat berhak bertanya: Apakah maaf ini lahir dari kesadaran moral yang mendalam atau sekadar manuver politik untuk meredam kemarahan sesaat yang berbuah demonstrasi yang mengakibatkan beberapa orang meninggal?

Tanggung jawab moral

Filsuf Immanuel Kant menekankan bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sebagai sekadar alat. Ketika pejabat berucap sembarangan - misalnya dengan merendahkan rakyat sebagai tolol sedunia- mereka secara etis memperlakukan masyarakat hanya sebagai objek pelengkap mereka.

Dalam kerangka ini, permintaan maaf baru akan bermakna apabila diikuti oleh perubahan sikap dan kebijakan. Tanpa itu, maaf hanya akan terasa formalitas belaka.

Hannah Arendt, dalam refleksinya tentang tanggung jawab politik, mengingatkan bahwa pejabat publik tidak bisa lari dari konsekuensi tindakannya. Permintaan maaf tanpa tindak lanjut justru memperlihatkan rapuhnya kesadaran politik. Ia harus menjadi pintu masuk bagi transformasi perilaku, bukan penutup masalah.

Paul Recoer bahkan menegaskan maaf sejati membuka jalan bagi rekonsiliasi, bukan untuk sekadar menutup luka. Maaf menjadi pintu untuk perubahan ke arah lebih baik.

Dalam konteks pejabat publik, maaf seyogiyanya membuka ruang untuk membangun kembali kepercayaan rakyat. Misalnya merancang kebijakan fiskal yang lebih responsif, mengumumkan mekanisme pelaporan publik, seperti kanal dengar pendapat reguler, atau mengurangi fasilitas mewah secara pribadi, dan mempercepat pembahasan RUU perampasan aset.

Namun, maaf yang diucapkan tanpa kesadaran mendalam, ia justru menambah kecurigaan bahwa pejabat hanya mengutamakan citra, bukan integritas.

Melihat fakta, banyaknya pejabat yang meminta maaf mencerminkan satu hal penting: kontrol sosial publik masih bekerja dan hidup. Gelombang kritik, protes mahasiswa, dan suara warganet terbukti mampu mendorong pejabat mengoreksi sikap dan perilaku pejabat.

Dalam bahasa Zygmunt Bauman, di era "modernitas cair" ketika batas kuasa negara dan suara publik semakin tipis, pejabat tidak bisa lagi bersembunyi dari pengawasan dan sorotan masyarakat. Transparansi adalah keniscayaan.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |