Paparan polusi udara jangka panjang dikaitkan dengan risiko depresi

8 hours ago 3

Jakarta (ANTARA) - Hasil studi Harbin Medical University dan Cranfield University menunjukkan kaitan paparan polusi udara dalam jangka panjang dengan risiko depresi, kondisi kesehatan mental yang ditandai dengan munculnya perasaan sedih berkelanjutan dan kehilangan minat terhadap aktivitas yang sebelumnya dinikmati.

Menurut siaran Hindustan Times pada Senin (7/4), penelitian baru yang diterbitkan dalam Environmental Science and Ecotechnology ini menunjukkan hubungan yang kuat antara paparan polusi udara jangka panjang dan risiko depresi yang lebih tinggi.

Penelitian ini melacak kondisi orang dewasa berusia di atas 45 tahun di Tiongkok selama tujuh tahun, dengan fokus pada bagaimana enam polutan udara dapat memengaruhi kesehatan mental.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sulfur dioksida (SO₂) merupakan polutan yang paling kuat hubungannya dengan peningkatan risiko depresi.

Karbon monoksida (CO) dan partikel halus (PM2.5) juga berperan dalam meningkatkan kemungkinan timbulnya masalah kesehatan mental.

Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa paparan campuran polutan ini dapat secara signifikan meningkatkan risiko depresi.

Para peneliti menjelaskan bahwa polutan udara dapat memengaruhi sistem saraf pusat dengan memicu stres oksidatif dan peradangan.

Efek ini dapat terjadi melalui berbagai jalur, termasuk aliran darah, saraf trigeminal, atau bahkan neuron reseptor penciuman.

Namun, para peneliti menyampaikan bahwa riset lebih lanjut diperlukan untuk sepenuhnya memahami bagaimana polusi udara berkontribusi pada masalah kesehatan mental.

Baca juga: Jalan 7.000 langkah setiap hari bantu perbaiki kesehatan mental

Baca juga: Terapi insomnia bisa bantu kurangi risiko depresi pasca-persalinan

Menurut informasi yang disiarkan di laman resmi Kementerian Kesehatan RI, depresi adalah kelainan suasana hati yang memengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang.

Orang yang mengalami depresi mungkin merasa sedih, cemas, kehilangan minat terhadap aktivitas yang biasanya mereka sukai, merasa tidak berharga, atau memiliki pemikiran negatif yang berulang tentang diri sendiri, kehidupan, atau kematian.

Informasi yang disiarkan di laman resmi Organisasi Kesehatan Dunia menyebutkan bahwa depresi berbeda dengan perubahan suasana hati dan perasaan tentang kehidupan sehari-hari yang biasa.

Episode depresi berlangsung hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, setidaknya selama dua minggu.

Orang yang mengalami depresi mungkin mengalami gangguan tidur, perubahan nafsu makan, kelelahan, dan konsentrasi yang buruk.

Depresi terjadi akibat interaksi kompleks faktor sosial, psikologis, dan biologis.

Risiko depresi dapat dikurangi dengan mengelola stres, membangun dukungan sosial yang kuat, serta menjaga kesehatan fisik dan mental secara umum.

Baca juga: Pil kontrasepsi dapat pengaruhi suasana hati dan depresi

Baca juga: Aktris Zhao Lusi ungkap pengalaman menghadapi kekerasan dan depresi

Penerjemah: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |