Jakarta (ANTARA) - Indonesia, negeri tropis yang subur, memiliki sejarah panjang dalam pemanfaatan singkong (cassava) sebagai sumber pangan, pakan, dan bahan baku industri.
Singkong memang bukan tanaman asli Indonesia, tetapi berasal dari Amerika Selatan yang dibawa ke Indonesia oleh Portugis melalui Filipina.
Di Bumi Nusantara singkong, yang dalam bahasa dunia disebut cassava, diterima secara luas oleh rakyat Nusantara sehingga dikembangkan secara mandiri oleh masyarakat.
Cassava begitu melekat di hati rakyat sehingga lahir beragam nama di setiap daerah. Sebut saja sampeu di Priangan, dangdeur di Banten, telo di Kutoarjo, dan ubi kayu di Jakarta.
Pemerintah Belanda juga mengembangkan singkong sebagai sumber pangan di negeri jajahan. Belanda pernah mempunyai perkebunan singkong ribuan hektar di Sukamandi. Saat ini lahan tersebut menjadi BBPadi dan Perum Benih SHS/Pertani.
Sedemikian membudidayanya singkong di tanah air, membuat tanaman introduksi asal Amerika Selatan itu kemudian dianggap sebagai komoditas lokal. Hal tersebut tercermin dari lagu "Anak Singkong" yang menggunakan produk singkong sebagai simbol komoditas lokal, sedangkan keju adalah simbol komoditas yang diimpor dari luar negeri.Dengan kata lain, singkong sudah dianggap melekat dengan Bangsa Indonesia.
Namun, ironisnya, ketika pemerintah menetapkan larangan impor tapioka, pati, dan produk turunan yang diekstrak dari umbi singkong, semua pihak justru terhenyak, menyadari bahwa ketergantungan Indonesia pada luar negeri sangat tinggi.
Tepung tapioka yang notabene berasal dari tanaman yang tumbuh di tanah sendiri, ternyata lebih dari 95 persen masih harus diimpor.
Bahkan, produk impor ternyata dapat hadir di tangan industri di Indonesia dengan harga lebih murah, kualitas lebih seragam, dan pasokan yang tersedia dalam jumlah besar. Sementara itu, produk dalam negeri belum mampu memenuhi tiga syarat utama tersebut.
Sebagai peneliti yang telah purnabakti, fakta tersebut membuat risih.
Baca juga: Membangun ekosistem produksi singkong dan momentum kemandirian pangan
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.