Jakarta (ANTARA) - Turunnya peringkat daya saing Indonesia dalam IMD World Competitiveness Ranking tahun 2025 menjadi sinyal keras bagi pemerintah dan pelaku industri.
Dari 69 negara yang disurvei, Indonesia merosot 13 peringkat ke posisi ke-40. Sektor pendidikan jatuh ke peringkat 62, sementara aspek lingkungan merosot ke 69.
Potret ini menyodorkan kenyataan bahwa mesin industrialisasi kita sedang kehilangan tenaga. Padahal, target Indonesia untuk masuk dalam jajaran 10 besar ekonomi dunia di tahun 2030-an tidak mungkin tercapai bila fondasi industrinya rapuh.
Masalahnya tidak hanya datang dari luar negeri. Kebijakan tarif 19 persen yang diberlakukan Amerika Serikat pada produk ekspor Indonesia jelas menurunkan daya saing harga di pasar global, namun lebih dari itu, kelemahan tata kelola domestik membuat industri nasional sulit beradaptasi.
Pasokan energi, khususnya gas industri, masih tersendat dan tidak transparan. Bahan baku strategis, seperti garam dan gula sering dipermainkan oleh regulasi yang berubah-ubah. Ditambah lagi, lembaga standardisasi yang tumpang tindih membuat pengawasan mutu barang impor dan domestik kehilangan taring.
Kombinasi persoalan ini menggerus kepercayaan investor, sekaligus melemahkan daya tahan industri nasional. Bukan kebetulan jika Komisi VII DPR RI, melalui Panja Daya Saing Industri, menyoroti persoalan ini secara serius.
Dalam rapat dengan pemerintah, muncul kritik bahwa anggaran Kementerian Perindustrian masih lebih banyak terserap untuk urusan manajemen, ketimbang peningkatan daya saing.
Artinya, negara belum menaruh fokus yang tepat pada aspek riset, inovasi, dan program hilirisasi. Tanpa arah kebijakan yang jelas, industri Indonesia akan tetap terjebak pada pola lama: mengekspor bahan mentah dan mengimpor produk jadi.
Energi strategis
Kunci daya saing industri nasional ada pada biaya produksi. Di sinilah harga gas industri menjadi persoalan pokok.
Industri kaca, keramik, kimia, hingga tekstil padat karya sangat bergantung pada pasokan gas, namun distribusinya kerap tidak transparan.
Ada kuota yang tidak terealisasi, ada pula kuota kecil, tapi pemakaian melebihi batas, sehingga industri harus membayar lebih mahal.
Kondisi ini merugikan pelaku usaha dan membuat harga produk dalam negeri kalah kompetitif. Solusinya, bukan sekadar memberi subsidi, melainkan menata ulang infrastruktur energi.
Relokasi industri dekat sumber gas atau pembangunan pabrik gas baru harus menjadi pilihan strategis.
Dengan begitu, biaya transportasi yang selama ini membengkak bisa ditekan. Negara tetangga, seperti Malaysia, sudah menata kawasan industrinya berbasis ketersediaan energi, sehingga biaya produksi lebih efisien. Indonesia bisa belajar dari langkah ini.
Selain itu, regulasi impor bahan baku strategis perlu dikelola dengan pendekatan ilmiah, bukan politis.
Kasus rencana larangan impor garam tahun 2027 menjadi contoh. Industri kertas, makanan, dan farmasi jelas membutuhkan garam dengan kualitas tertentu yang tidak bisa dipenuhi garam lokal.
Jika kebijakan impor dipaksakan, tanpa uji kompatibilitas akademis, maka yang terjadi adalah PHK massal dan kehilangan devisa ekspor. Artinya, kebijakan bahan baku harus berbasis riset, bukan sekadar jargon swasembada.
Standar global
Salah satu instrumen paling penting dalam menjaga daya saing adalah standardisasi. Indonesia sebenarnya memiliki hampir 10 ribu dokumen SNI aktif, namun pelaksanaannya sering longgar, terutama terhadap produk impor. Mainan anak, tanpa SNI masih beredar bebas, barang impor non-standar merajalela di pasar daring, sementara industri lokal ditekan dengan kewajiban sertifikasi yang ketat.
Akhirnya, SNI hanya menjadi beban pelaku usaha domestik, bukan perisai untuk melindungi mereka.
Tumpang tindih kewenangan antara Badan Standardisasi Nasional dan Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri juga membuat sistem ini tidak efisien.
Jalan keluarnya adalah menyatukan fungsi standardisasi pada satu lembaga utama, dengan payung hukum yang jelas.
BSN harus diberi mandat penuh, sementara kementerian teknis menjadi pelaksana. Dengan begitu, SNI benar-benar menjadi instrumen proteksi dan branding mutu produk Indonesia di pasar global.
Standardisasi yang kuat juga akan memperbaiki posisi Indonesia dalam rantai pasok global. Dunia kini bergerak menuju industri hijau dan produk ramah lingkungan.
Jika Indonesia mampu menjadikan SNI sejalan dengan standar internasional, maka produk tekstil ramah lingkungan, furnitur kayu berkelanjutan, dan komoditas agro yang tersertifikasi akan mendapat tempat di pasar Eropa maupun Amerika.
Indonesia tidak bisa terus menunda strategi daya saing. Tiga fase harus segera dijalankan.
Pertama, strategi pertahanan dalam 2–3 tahun ke depan, yakni melindungi pasar domestik lewat SNI wajib, menjaga pasokan energi, dan menata regulasi bahan baku.
Kedua, strategi adaptasi dalam jangka menengah, yakni memperluas pasar non-tradisional ke Afrika, Timur Tengah, dan Eurasia, sekaligus mendorong hilirisasi industri berbasis sumber daya.
Ketiga, strategi transformasi dalam jangka panjang, yakni investasi pada riset, inovasi teknologi, dan pendidikan vokasi untuk mencetak SDM industri yang unggul.
Pemerintah perlu menyadari bahwa daya saing tidak hanya soal harga, tapi juga kualitas, keberlanjutan, dan kepercayaan global.
Jika strategi ini konsisten dijalankan, Indonesia tidak hanya akan bangkit dari peringkat ke-40, tetapi juga bisa menempatkan diri sebagai pusat industri hijau dan digital di Asia Tenggara pada 2035.
*) Rioberto Sidauruk adalah pemerhati industri strategis, bertugas sebagai Tenaga Ahli AKD DPR RI
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.