Jakarta (ANTARA) - Nilai tukar rupiah pada perdagangan Jumat sore ditutup melemah 74 poin atau 0,45 persen menjadi Rp16.601 per dolar AS dibandingkan penutupan sebelumnya di level Rp16.527.
Dari faktor eksternal, pengamat mata uang dan komoditas Ibrahim Assuaibi menilai, pelemahan rupiah dipicu tekanan usai pernyataan Ketua The Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell yang menyatakan tidak ada dukungan luas untuk pemotongan suku bunga sebesar 50 basis poin (bps).
Powell juga menyampaikan bank sentral AS tidak terburu-buru menurunkan suku bunga karena keputusan akan sepenuhnya bergantung pada data ekonomi.
"Ketua The Fed Jerome Powell yang menekankan bahwa 'tidak ada dukungan luas' untuk pemotongan suku bunga sebesar 50 bps dan mengatakan bahwa bank sentral tidak merasa perlu untuk bergerak cepat dalam menurunkan suku bunga," kata dia di Jakarta, Jumat.
Selain itu, data ekonomi AS juga memperkuat posisi dolar.
Klaim pengangguran awal mingguan turun menjadi 231 ribu, lebih baik dari perkiraan 240 ribu, sementara Indeks Manufaktur The Fed Philadelphia untuk September melonjak ke level 23,2 dari ekspektasi 2,3.
Lonjakan ini menandakan pemulihan aktivitas manufaktur AS yang lebih cepat dari perkiraan.
Menurut Ibrahim, fokus pasar saat ini juga tertuju pada sanksi baru AS terhadap minyak Rusia di tengah memanasnya konflik Rusia-Ukraina, yang memicu kekhawatiran gangguan pasokan energi global.
Kemudian, dampak perang tarif AS terhadap mitra dagangnya kian menekan perekonomian dunia dan memperlebar disparitas pertumbuhan antarnegara.
Sementara dari sisi domestik, Ibrahim memandang pengusaha masih gamang untuk memanfaatkan kredit perbankan meski pemerintah menggelontorkan dana Rp200 triliun ke perbankan.
Sebab, likuiditas yang besar belum otomatis mendorong ekspansi dunia usaha jika permintaan kredit masih rendah.
"Saat ini, pengusaha masih gamang dalam memanfaatkan kredit perbankan. Apalagi perbankan sangat berhati-hati dalam menggelontorkan kredit untuk sektor riil," tuturnya
Menurut dia, rendahnya daya beli masyarakat dan tingginya risiko usaha membuat sektor riil belum agresif dalam melakukan ekspansi.
Hal ini menimbulkan keraguan apakah kebijakan pemerintah melalui penempatan dana di perbankan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi, mengingat kondisi saat ini berbeda jauh dengan tahun 2021
"Kebijakan dana pemerintah yang disimpan ke perbankan, akan meningkatkan pertumbuhan kredit seperti yang pernah dilakukan pada tahun 2021, namun pasar tetap tidak percaya dengan pernyataan menteri tersebut karena kondisi 2021 berbeda jauh dengan 2025," kata Ibrahim.
Sebagai informasi, dana Rp200 triliun bukan bersumber dari dana darurat, melainkan sisa anggaran pemerintah yang belum dibelanjakan.
Penarikan Rp200 triliun dari sisa anggaran lebih (SAL) Rp250 triliun pada 2025 dan 2026 di Bank Indonesia itu juga bisa berpotensi menggerus cadangan fiskal pemerintah, sehingga tidak akan memadai untuk memberi talangan bagi belanja APBN saat penerimaan pajak terlambat masuk.
Menimbang sejumlah faktor tersebut, untuk perdagangan awal pekan depan, Ibrahim memperkirakan rupiah masih akan bergerak fluktuatif, namun cenderung melemah di rentang Rp16.600-Rp16.660 per dolar AS.
Baca juga: Rupiah melemah dipengaruhi rebound dolar AS dan sentimen domestik
Baca juga: Rupiah pada Jumat pagi melemah jadi Rp16.571 per dolar AS
Baca juga: BI sebut suplai dolar membaik sehingga topang stabilitas rupiah
Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.