Beijing (ANTARA) - Ekonom dan sejarawan Inggris Richard Henry Tawney dalam bukunya "Land and Labor in China" (1932) mengatakan "Penduduk desa di China ibarat seorang yang terus-menerus berdiri dengan air sampai ke leher, sehingga riak kecil saja sudah cukup untuk menenggelamkannya".
Gambaran yang menunjukkan kondisi tidak menentu bagi masyarakat di desa-desa Tiongkok. Gangguan minimal pun dapat berdampak sangat besar, sehingga menurut Tawney, penting mempertahankan stabilitas sosial di pedesaan.
Namun, kondisi itu sudah lebih dari 90 tahun lalu dan pedesaan China sudah mengalami banyak perubahan.
Proses pembangunan pedesaan China setidaknya dapat dibagi menjadi dua periode utama, yaitu periode pertama pada 1949-1978 dimulai sejak berdirinya Republik Rakyat China hingga dimulainya reformasi dan keterbukaan sejak 1978.
China pascakolonial disebut sebagai masyarakat agraris yang terpecah karena perang, separatisme regional, industrialisasi serta urbanisasi yang tidak merata, sehingga pemerintah Partai Komunis China (PKC) saat itu melakukan berbagai upaya terpadu untuk mempromosikan "integrasi nasional".
Terlebih pada masa Tiongkok kuno, pedesaan bukanlah wilayah otonom yang dipimpin oleh bangsawan setempat; sebaliknya, setiap dinasti yang bertahan lama, melalui aparaturnya memberikan pengaruh kepada para bangsawan di pedesaan.
Tak heran, para pemimpin China pun mengusung visi politik utama berbau integrasi sosial seperti Persatuan Besar Rakyat Tiongkok (Zhōngguó rénmín dà tuánjié) karya Mao Zedong, kepada Masyarakat Harmonis (Héxié shèhuì) dari Hu Jintao dan terbaru, Komunitas untuk Masa Depan Bersama bagi Umat Manusia (Rénlèi mìngyùn gòngtóngtǐ) oleh Xi Jinping.
Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.