Menguatkan mitigasi dan kesiapsiagaan guna antisipasi bencana

1 month ago 9

Jakarta (ANTARA) - Hidup dengan rasa damai dan aman, tanpa ada ancaman bencana adalah impian setiap bangsa di dunia, tidak terkecuali Indonesia sebagai negara kepulauan.

Namun demikian, Indonesia yang memiliki sejuta pesona keindahan alamnya, merupakan salah satu kawasan yang rawan mengalami bencana, seperti erupsi gunung berapi maupun gempa dan tsunami. Indonesia berada dalam lingkar Cincin Api Pasifik serta dikelilingi oleh zona gempa, termasuk megathrust.

Oleh karena itu, bangsa Indonesia tidak hanya bersahabat dengan lembayung senja dan desir lembut angin pantai, tetapi juga memeluk erat ancaman bencana, khususnya megathrust.

Gempa megathrust merupakan gempa bumi berkekuatan sangat besar yang terjadi di zona subduksi, yaitu suatu wilayah di mana salah satu lempeng tektonik bumi terdorong ke bawah lempeng tektonik lainnya. Kedua lempeng tersebut terus bergerak saling bersinggungan namun menjadi terjebak di tempat mereka bersentuhan, sehingga membuat adanya penumpukan regangan melebihi gesekan antara dua lempeng.

Gempa megathrust bisa menyebabkan terjadinya tsunami karena adanya gerakan dorongan besar hingga menimbulkan pergerakan vertikal besar di dasar laut yang bergerak memindahkan sejumlah besar air dan menjauh dari gerakan bawah laut, aktivitas ini menjadikannya sebagai tsunami.

Indonesia memiliki banyak zona subduksi itu, yang membentang dari ujung Pulau Sumatera hingga Papua. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh tim Pusat Studi Gempa Nasional (PuSGen) pada tahun 2017 mendapati Indonesia dikelilingi sebanyak 13 zona megathrust, terdiri dari zona megathrust segmen Selat Sunda sebagian terbentang di selatan Jawa hingga Bali, segmen Mentawai-Siberut di barat Sumatera, segmen Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, segmen utara Sulawesi dan utara Papua.

Direktur Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan bahwa dari 13 segmen zona megathrust itu, perhatian paling serius tertuju pada segmen Selat Sunda dan Mentawai-Siberut. Kedua segmen tersebut menyimpan potensi gempa dengan kekuatan dahsyat yang bisa mengancam keselamatan warga yang hidup di atasnya.

Banyak ahli lainnya juga mengemukakan bahwa pada kawasan itu didapati sebagai zona kekosongan gempa besar (seismic gap) yang sudah berlangsung ratusan tahun lamanya. Seismic gap ini harus diwaspadai karena dapat melepaskan energi gempa signifikan yang dapat terjadi sewaktu-waktu.

Untuk segmen Mentawai-Siberut di sebelah barat Sumatera berpotensi memicu gempa berkekuatan hingga 9,0 magnitudo yang dapat menghasilkan gelombang pasang tsunami lebih dari 10 meter. Peringatan serupa juga diberikan untuk segmen Selat Sunda yang terbentang antara Pulau Jawa dan Sumatera.

Petugas memonitoring aktivitas sensor seismik pendeteksi getaran gempa dan potensi tsunami (Indonesia Early Warning System/Ina-TEWS) di Kantor Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di Jalan Angkasa, Kemayoran, Jakarta, Senin (30/9/2024) ANTARA/M Riezko Bima Elko Prasetyo). (ANTARA/M Riezko Bima Elko Prasetyo

Kesiapan alat dan ketangguhan masyarakat

Untuk mengantisipasi kemungkinan tersebut, maka perlu mempertebal menguatkan mitigasi guna mengurangi risiko dampak yang ditimbulkan oleh gempa dan tsunami megathrust ini; yaitu dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk mendeteksi potensi bahaya dan juga memperkokoh kesiapsiagan masyarakat melalui serangkaian pelatihan, spesifikasi penyelamatan atau evakuasi hingga menjamin struktur bangunan yang tahan gempa.

Bangsa Indonesia memang telah menapaki jalan panjang menuju kesiapsiagaan menghadapi risiko gempa dan tsunami melalui pengembangan teknologi mutakhir untuk mendeteksi dan menyampaikannya sebagai peringatan dini bahaya, hingga penguatan komunitas yang diperoleh dari pembelajaran peristiwa masa lalu.

Gempa dan tsunami Samudera Hindia yang meluluhlantakkan Aceh pada 2004 menjadi titik balik yang penting dalam pengelolaan bencana di Indonesia. Guncangan berkekuatan lebih dari 9,0 magnitudo dan memicu gelombang tsunami setinggi 20 meter ini merenggut jiwa lebih dari 170.000 warga “Bumi Serambi Mekkah”. Selain itu, peristiwa tersebut menurut Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI, menyebabkan kerugian senilai Rp51,4 triliun.

Peristiwa ini menyadarkan dunia akan pentingnya sistem peringatan dini sehingga masyarakat bisa bersiap menyelamatkan diri, dan mendorong Indonesia untuk juga memulai langkah-langkah besar mengembangkan teknologi mitigasi bencana itu.

Indonesia pun terus berbenah menyempurnakan sistem tersebut dengan disokong oleh sejumlah negara sahabat, di antaranya seperti Jepang, Jerman, dan Prancis. Butuh empat tahun bagi Indonesia untuk memiliki sistem peringatan dini berbasis teknologi sensor ini. Hingga akhirnya Indonesia Early Warning System (Ina-TEWS) resmi dioperasikan pada 2008.

Dari hanya ada satu sensor yang diandalkan kala itu, saat ini Indonesia sudah memiliki 600 unit sensor seismik, 240 unit alat tide gaude dan 36 unit Automatic Weather Station (AWS). Alat ini dipasang di sejumlah kawasan khususnya yang rawan gempa dan tsunami.

Ina-TEWS yang berbasis sensor seismik-tide guide ini menjadi tulang punggung satu-satunya upaya mitigasi gempa-tsunami kita sampai dengan sekarang. Kantor pusat monitoringnya berada dalam komplek perkantoran BMKG di Jalan Angkasa, Kemayoran, Jakarta.

Sistem tersebut memungkinkan adanya peringatan dini potensi tsunami dalam waktu cukup cepat. Catatan waktu domestik terbaiknya adalah kurang dari tiga menit setelah gempa terjadi. Dewasa ini pendistribusian informasi peringatan dini bahaya bencana dapat dilakukan secara realtime memanfatkan gelombang internet, pemancar siaran televisi, dan radio yang dikelola Kementerian Telekomunikasi dan Digital (Komdigi). Kecepatan waktu penyampaian informasi ini dinilai cukup untuk memberikan kesempatan berharga bagi masyarakat melakukan evakuasi.

Indonesia sempat memiliki sebuah alat pendeteksi yang canggih dapat membantu memberikan informasi menjadi lebih akurat, dan lebih cepat bila terjadi gempa -tsunami, yakni Ina-Buoy. Jepang menjadi salah satu negara yang memanfaatkan kecanggihan perangkat tersebut dalam meminimalisir ancaman bahaya tsunami.

Sedikitnya ada sembilan unit Ina-Buoy dipasang di lautan dekat Bengkulu, laut dekat anak Gunung Krakatau, Selat Sunda, laut selatan Pangandaran, selatan Jawa Timur, laut selatan Bali, dan laut selatan Waingapu di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur pada medio 2019- 2020. Di dalam Buoy itu terdapat sensor yang diletakkan di bawah laut pada kedalaman lebih dari 600 meter.

Tetapi karena kekurangan anggaran untuk pemeliharaan, dan menjadi korban vandalisme, hingga belakangan juga dikatakan perangkat ini kurang efektif menjalankan fungsinya, sehingga harus diteliti ulang. Teknologi buatan dalam negeri bernilai miliaran rupiah per unit yang dikembangkan periset Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) atau sekarang menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Perangkat ini resmi berhenti beroperasi pada awal 2023. Jauh sebelumnya ada beberapa unit Buoy bantuan luar negeri yang dipasang di perairan Indonesia, tapi juga sudah tidak beropreasi lagi karena rusak.

Dalam simposium tsunami internasional yang melibatkan para ahli seismologis dunia di Provinsi Aceh, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati juga mengungkapkan bahwa Indonesia sangat membutuhkan alat sensor bawah laut yang tak hanya bisa mendeteksi potensi tsunami akibat aktivitas seismik (gempa), tetapi juga ampuh untuk aktivitas non-seismik dari gunung api di laut dengan tingkat akurasi tinggi, seperti Buoy atau sejenisnya.

Dwikorita mengakui bahwa meski memiliki kecepatan tetapi kemampuan ratusan unit sensor yang dimiliki Indonesia saat ini masih terbatas untuk mendeteksi tsunami yang dipicu akibat aktivitas seismik, dan belum cukup akurat mendeteksi yang non-seismik.

Peristiwa erupsi Gunung Anak Krakatau pada tahun 2018 menjadi pengingat nyata akan potensi bahaya tsunami yang dipicu oleh aktivitas non-seismik ini. Kala itu, tanpa peringatan dini, tsunami setinggi lima meter menghantam pesisir Provinsi Banten dan Lampung hingga menewaskan lebih dari 400 orang.

Pada tahun 2010 atau sekitar delapan tahun sebelumnya, juga terjadi gempa di Mentawai, Sumatera Barat yang berkekuatan 7,8 magnitudo dan memicu tsunami dengan gelombang setinggi 3-10 meter. Peristiwa tersebut patut mendapat perhatian serius, apalagi setelah diketahui adanya zona megathrust di Mentawai-Siberut yang dapat berpotensi menimbulkan gempa yang jauh lebih besar hingga lebih dari 8,9 magnitudo.

Terlepas dari hal itu, masyarakat juga perlu dipersiapkan karena teknologi secanggih apa pun tidak akan efektif tanpa kesadaran dan partisipasi akar rumput, khususnya mereka yang berhadapan langsung dengan potensi bahaya. Bahkan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menekankan bahwa pembentukan komunitas masyarakat tangguh bencana ini adalah langkah krusial.

BNPB memetakan ada sebanyak 53.000 lebih desa di Indonesia yang berada dalam kawasan rawan bencana. Sebanyak 45.97 desa berada di kawasan rawan gempa bumi dan 5.744 desa berada dalam kawasan rawan tsunami. Jumlah penduduk yang bermukim di kawasan rawan tersebut diestimasi sebanyak 51 juta keluarga.

Dari jumlah total desa rawan bencana tersebut teridentifikasi ada sebanyak 5.744 desa rawan tsunami dan 45.973 desa rawan gempa bumi, 2.160 desa rawan erupsi gunung api. Desa tersebut tersebar mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa barat tengah bagian selatan, Jawa Timur bagian selatan, Kalimantan Selatan bagian timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah-Palu, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Maluku Selatan, dan Papua.

Dengan sekitar 53.000 desa berada di kawasan rawan bencana, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menyebarkan edukasi dan membangun kesiapan masyarakat. Pasalnya, data terbaru hingga saat ini, baru ada 36.000-an desa yang terverifikasi tangguh bencana, angka yang masih jauh dari cukup untuk mengamankan seluruh wilayah rawan. Minimnya anggaran untuk menggencarkan edukasi kebencanaan sehingga belum semua desa rawan bencana dapat dipersiapkan secara maksimal.

Desa tangguh bencana (Destana) menjadi program andalan untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi ancaman gempa dan tsunami. Di dalamnya terdapat serangkaian pelatihan manajemen risiko, evakuasi mandiri, penyediaan sarana dan prasarana kegawatdaruratan, hingga pembuatan jalur yang lengkap dengan peta-petunjuk arah evakuasi.

Peranan Destana ini akan lebih maksimal apabila pemerintah daerah dan pelaku bisnis juga memandangnya sebagai hal serius; seperti penyediaan bangunan rumah tahan gempa, shelter evakuasi dan yang tak kalah pentingnya menegakkan aturan untuk tidak sembarang membangun pemukiman penduduk- destinasi wisata di kawasan pesisir.

Berdasarkan kajian para ahli jika guncangan gempa tidak berhenti lebih dari 30 detik, maka 75 persen dapat berpotensi tsunami, meskipun terjadinya pelan-pelan. Tanda-tanda potensi tsunami pun tidak selalu memiliki karakteristik yang sama. Seperti surutnya air laut atau berhentinya hembusan angin, meskipun itu terjadi pada daerah yang sama dalam waktu yang berbeda, pasti memiliki karakteristik yang berbeda.

Jadi, teknologi canggih untuk pendeteksian bencana sangat penting. Namun, hal itu harus berjalan seiringan dengan peningkatan kesadaran dan ketangguhan masyarakat. Semua ini, merupakan tentang bagaimana membangun harapan untuk pembangunan yang berkelanjutan, meski harus berada dalam ancaman potensi bencana yang dahsyat.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024

Read Entire Article
Rakyat news | | | |