Bandung (ANTARA) - April 1955, dunia menyaksikan kejadian langka di Kota Bandung, ketika negara-negara yang biasanya cuma menjadi objek kolonial, tiba-tiba berkumpul, berdiskusi, dan berdeklarasi dalam forum bertajuk Konferensi Asia Afrika (KAA).
Soekarno (Indonesia), Nehru (India), Nasser (Mesir), Zhou Enlai (Tiongkok), U Nu (Burma, sekarang Myannar), dan 24 pemimpin lain berkumpul di Gedung Merdeka. Mereka berbicara soal perdamaian, persamaan, kedaulatan, dan solidaritas.
Dengan kehadiran 29 negara, mewakili lebih dari setengah populasi dunia, saat itu, KAA adalah sebuah pernyataan bahwa bangsa-bangsa Asia dan Afrika tidak sudi lagi berdiam menjadi penonton sejarah.
“Hidup yang lebih baik hanya dapat diciptakan apabila kita berani berkata 'tidak' terhadap kolonialisme dalam segala bentuknya!” kata Presiden Sukarno, menggugah dunia, saat membuka konferensi.
Tepuk tangan membahana. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, negara-negara “pinggiran” berkumpul, bukan karena diundang oleh kekuatan besar, tapi karena didorong keinginan membuat dunia yang berbeda, dunia yang lebih adil dan setara.
Di bawah bayang-bayang perang dingin dan ketegangan antara blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan blok Timur yang dipimpin Uni Soviet, negara-negara baru merdeka itu berikrar untuk mengambil jalan mereka sendiri.
Mereka menandatangani 10 prinsip moral bernama Dasasila Bandung, semacam manual book untuk negara berkembang agar tidak menjadi budak kekuatan besar, yang, antara lain berisi prinsip-prinsip seperti “menghormati kedaulatan” , “hidup berdampingan secara damai”, dan “tidak ikut campur urusan dalam negeri negara lain.”
Semangat Bandung 1955 pun memunculkan kekuatan ketiga, yakni suara negara-negara berkembang yang menolak dijadikan pion dalam permainan kekuasaan global. Mereka membahas nasib sendiri, menjalin solidaritas, dan menyemai benih kerja sama.
Tidak lama kemudian, gerakan Non-Blok terbentuk, membawa Semangat Bandung ke panggung dunia yang lebih kongkret. Bagi banyak negara yang masih dijajah, Semangat Bandung pun menjadi obor untuk perjuangan kemerdekaan mereka. Sebuah bukti bahwa dunia bisa berubah jika suara-suara kecil bersatu menjadi gema.
Dari Bandung ke Washington
Seiring berjalannya waktu, Semangat Bandung 1955 harus berhadapan dengan realita geopolitik dunia yang penuh kontroversi.
Hampir tujuh dekade setelah KAA, dunia kembali berada di persimpangan. Pemicunya datang dari Washington atas nama Donald J. Trump.
Saat naik podium Gedung Putih. Trump membawa filosofi America First yang kemudian mengarah pada kebijakan luar negeri yang proteksionis, sepihak, dan pragmatis ekstrem. Trump menarik AS dari Perjanjian Iklim Paris, WHO, UNESCO, serta menghantam multilateralisme lewat perang dagang.
Dari sana kemudian bergulir Trumpisme. Ini bukan ideologi, melainkan tidak lebih dari manifestasi mood seorang miliarder dengan rambut seambisius kebijakannya. Sederhananya, Trumpisme itu hanya mood marah-marah, mood ingin diutamakan, atau mood "oke, kalau kamu tak setuju, aku blok".
Trumpisme adalah antitesis dari Semangat Bandung 1955. Jika Semangat Bandung adalah tentang membangun jembatan penghubung, Trumpisme justru sibuk membangun tembok penghalang; Jika Bandung menyerukan saling menghormati, Trump menarik AS dari Perjanjian Iklim Paris, WHO, UNESCO; Jika Bandung ingin menyatukan negara-negara selatan, Trump malah bikin perang dagang dan "unfollow" Kanada.
Walau sekadar mood, Trumpisme membuat dunia yang selama puluhan tahun bergantung pada kepemimpinan global AS menjadi limbung. Kepercayaan terhadap institusi internasional luntur. Negara-negara berkembang menjadi bingung menyikapi dinamika kekuatan besar yang kini lebih tidak terprediksi.
Jika Trumpisme menjadi-jadi, ini bukan hanya penolakan terhadap globalisasi, tapi bisa menjadi isyarat bahwa era stabilitas pasca-Perang Dunia II sedang berada di ujung tanduk.
Kembali ke Bandung
Kota Bandung kini telah berubah, tetapi jejak sejarahnya tetap hidup. Gedung Merdeka masih berdiri. Pilar-pilarnya kokoh, artefaknya terawat. Di sini, pengunjung masih bisa melihat dan mendengar kisah Sukarno dan kawan-kawan merumuskan jalan ketiga.
Warisan KAA itu tentu bukan milik masa lalu yang cuma menjadi daya tarik turis. Semangat Bandung juga relevan untuk menjadi penunjuk jalan di masa kini dan masa depan, terutama ketika dunia sempat kehilangan arah akibat tiupan badai Trumpisme.
Mungkin yang dibutuhkan sekarang bukan konferensi besar, seperti di tahun 1955, tapi menularkan kembali semangatnya untuk mengingatkan dunia bahwa kita pernah punya mimpi bersama tentang dunia yang tidak didikte oleh kekuatan militer atau kekayaan ekonomi, tapi dibimbing oleh empati dan solidaritas.
Trumpisme membawa dunia ke arah yang lebih gelap, tapi obor kecil dari Bandung belum padam. Ia masih menyala di Gedung Merdeka, di ruang-ruang diskusi, di negara-negara yang tertindas, di pikiran-pikiran yang menolak menyerah pada logika Trump.
Bandung 1955 mengajarkan bahwa kebebasan memilih arah politik adalah hak setiap negara. Di era Trump, loyalitas geopolitik menjadi semakin cair, sehingga negara-negara berkembang dapat mengadopsi pendekatan non-blok dengan versi kekinian, yakni bermitra strategis, tanpa harus tunduk dan menundukkan.
Tentu, dunia sekarang jauh lebih kompleks. Ancaman bukan hanya militer atau ekonomi, tapi juga ketimpangan teknologi, krisis iklim, dan utang global. Namun, nilai yang diusung Bandung 1955 tetap relevan, bahwa kekuatan moral dan solidaritas bisa menjadi kekuatan politik.
Dalam dunia yang makin tidak pasti, nilai solidaritas, kedaulatan, dan keadilan internasional yang dulu disuarakan dari Bandung bisa menjadi penyeimbang. Barangkali, untuk melawan ketidaksopanan Trump, kita cuma butuh keberanian dan ingatan bahwa dulu kita di Bandung pernah kompak melawan ketimpangan.
Copyright © ANTARA 2025