Mengenal silsilah awal keluarga Raja Keraton Solo

6 hours ago 1

Jakarta (ANTARA) - Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menjadi perhatian setelah wafatnya Sri Susuhunan Pakubuwono XIII pada Minggu (2/11).

Raja yang dikenal menjaga kelestarian adat dan budaya Jawa itu, telah menutup satu babak panjang dalam sejarah kerajaan yang telah berdiri lebih dari dua setengah abad.

Keraton Solo sendiri tidak lepas dari sejarah Kerajaan Mataram Islam. Lahirnya Kasunanan Surakarta bermula dari Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755.

Perjanjian tersebut yang mengakhiri konflik antara Pangeran Prabasuyasa (Susuhunan Pakubuwono II), Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I), serta Raden Mas Said.

Dalam perjanjian telah dibagi wilayah Mataram menjadi dua bagian, yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat (Surakarta) dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta).

Sejak saat itu, Surakarta berkembang menjadi pusat budaya Jawa, dengan raja-rajanya yang bergelar Pakubuwono sebagai simbol adat dan tradisi hingga masa kini.

Awal dinasti Pakubuwono

Berawal dari kepemimpinan Sunan Pakubuwono I atau Pangeran Puger, yang merupakan anak Amangkurat I, raja ke-4 Kerajaan Mataram Islam dan cucu Sultan Agung. Ia memimpin di Keraton Kartasura, sebelum terbentuknya Keraton Surakarta.

Pada awalnya, Pakubuwono I juga bergelar Amangkurat seperti ayahnya. Namun, ia mengubah dan menambah sejumlah gelar yang hingga saat ini digunakan untuk keturunan-keturunannya sebagai Raja Keraton Surakarta.

Gelar tersebut ialah "Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa", atau disingkat dengan Pakubuwono.

Setelah meninggal dunia, takhta turun kepada Pakubuwono II (1745-1749), Raden Mas Prabasuyasa yang dikenal sebagai tokoh penting pemindahan pusat kerajaan dari Kartasura ke Desa Sala pada 1745 karena keraton lama rusak akibat pemberontakan.

Langkah itu menandai berdirinya Keraton Surakarta Hadiningrat. Ia wafat pada 1749, dan kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya, Pakubuwono III (1749-1788), Raden Mas Suryadi.

Pada masa Pakubuwono III, terjadi konflik perebutan kekuasaan yang telah berlangsung sejak masa ayahnya. Sejak tahun 1746, pamannya, Pangeran Mangkubumi, memimpin pemberontakan terhadap kerajaan.

Pada 12 Desember 1749, Mangkubumi menobatkan dirinya sebagai Pakubuwono III dengan dukungan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa sebagai patihnya. Namun, keduanya berselisih dan situasi ini dimanfaatkan oleh VOC untuk menengahi dengan menawarkan perdamaian.

Dari sini lahir Perjanjian Giyanti, yang membagi wilayah kekuasaan menjadi dua. Pangeran Mangkubumi bergelar Sultan Hamengkubuwono I memimpin Kesultanan Yogyakarta, sementara Pakubuwono III tetap berkuasa di Kasunanan Surakarta.

Pangeran Sambernyawa yang merasa dikhianati terus melawan kedua kerajaan dan VOC, hingga akhirnya mendapat wilayah sendiri bernama Kadipaten Mangkunegaran melalui Perjanjian Salatiga pada Maret 1757.

Keraton di masa kolonial

Masa Pakubuwono IV (1788–1820), Raden Mas Subadya ditandai dengan penolakan terhadap dominasi Belanda. Ia dikenal religius dan dijuluki Sunan Bagus karena ketampanannya.

Pakubuwono IV dikenal sebagai sosok yang tegas dan berani. Ia pun menjadi seorang raja yang sangat membenci penjajahan.

Namun, karena peristiwa Pakepung dan tekanan dari VOC, membuatnya harus menyerahkan penasihat rohaninya dan berdamai dengan penjajah.

Setelahnya, Pakubuwono V (1820–1823), Raden Mas Sugandi naik takhta dan memerintah dalam periode singkat.

Berkat kekayaan dan kesaktiannya, Pakubuwono V pun mendapatkan julukan sebagai Sunan Ngabehi atau Sunan Sugih, yang berarti baginda yang kaya harta dan kesaktian.

Setelah meninggal dunia, takhta akhirnya digantikan Pakubuwono VI (1823–1830), Raden Mas Sapardan.

Ia dikenal sebagai salah satu sosok yang mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, yakni memberontak VOC dan Kesultanan Yogyakarta.

Namun, setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, ia pun ikut diasingkan ke Ambon pada 1830 hingga wafat pada 1849.

Kemudian, keraton dipimpin Pakubuwono VII (1830–1858), Raden Mas Malikis Solihin.

Pada masa kepemimpinannya, Keraton Solo mengalami masa kejayaannya di bidang sastra. Pasalnya, sudah tidak ada lagi pemberontakan besar-besaran seperti masa-masa sebelumnya.

Selanjutnya, Ia digantikan oleh Pakubuwono VIII (1858–1861), Gusti Raden Mas Kuseini. Ia merupakan raja pertama yang tidak berpoligami.

Berbeda dengan raja sebelumnya yang merupakan putra mahkota dari raja terdahulunya. Dirinya naik takhta karena Pakubuwono VII tidak mempunyai putra mahkota.

Lalu, pada masa Pakubuwono IX (1861–1893), Gusti Raden Mas Duksina naik takhta dan menandai kemajuan fisik keraton dan pembangunan kota.

Kepemimpinan pun dilanjutkan oleh Pakubuwono X (1893–1939), Gusti Raden Mas Sayyidin Malikul Husna sosok paling berpengaruh dalam sejarah Surakarta.

Ia menjadi raja yang mendukung pergerakan nasional, membantu para tokoh perjuangan, serta membangun infrastruktur kota. Masa pemerintahannya dianggap sebagai era keemasan Keraton Solo.

Masa peralihan ke Republik

Setelah tutup usia, Pakubuwono XI (1939–1945), Raden Mas Ontoseno naik takhta raja dan menjadi pemimpin di masa sulit ketika Jepang menduduki Indonesia.

Banyak aset keraton disita, dan situasi ekonomi juga ikut memburuk. Selain itu, kepemimpinannya juga bertepatan pada peristiwa Perang Dunia II.

Setelah wafat, Pakubuwono XII (1945–2004), Raden Mas Suryo Guritno naik takhta dan menjadi raja terlama dalam sejarah Surakarta.

Di masa ini Indonesia berhasil merdeka, dan Pakubuwono XII menunjukkan dukungannya kepada Republik melalui dekret kerajaan pada 1 September 1945.

Pada 6 September 1945, Presiden Soekarno menetapkan Surakarta sebagai Daerah Istimewa. Namun, status Daerah Istimewa Surakarta akhirnya dihapus pada 1946.

Hal ini disebabkan situasi politik yang tidak stabil dan terjadi banyak penculikan hingga kekerasan terhadap beberapa pejabat Kasunanan Surakarta yang dilakukan oleh kaum radikal Barisan Banteng.

Sejak itu, Keraton Surakarta berstatus sebagai karesidenan yang masuk ked alam wilayah Provinsi Jawa Tengah.

Pemerintahan pun dipegang oleh rakyat sipil, sementara Pakubuwono XII berkedudukan sebagai pemangku adat dan simbol dari budaya Surakarta.

Sepeninggal Pakubuwono XII tanpa permaisuri yang jelas, gelar raja selanjutnya sempat diperebutkan oleh dua putranya dari ibu yang berbeda. Keduanya pun saling mengakui sebagai pemegang takhta yang sah.

Selama delapan tahun dan proses yang panjang, keluarga besar keraton akhirnya menetapkan Kanjeng Gusti Pangeran Hangabehi (R.M. Suryo Partono) sebagai Pakubuwono XIII.

Selama kepemimpinannya, ia aktif menghadiri berbagai upacara adat, memperkuat peran keraton sebagai penjaga budaya, serta menetapkan KGPH Purbaya sebagai putra mahkota pada 2022.

Setelah wafat pada awal November 2025, ia dimakamkan di Makam Raja-Raja Mataram Imogiri, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dinasti Pakubuwono telah melintasi masa kerajaan, penjajahan, hingga kemerdekaan. Tidak hanya sekadar simbol kebangsawanan, keberadaannya menjadi warisan hidup kebudayaan Jawa yang tetap dijaga hingga saat ini.

Baca juga: Tokoh lintas agama sampaikan dukacita wafatnya Sinuhun Pakubuwono XIII

Baca juga: Ini profil KGPAA Hamangkunegoro, penerus takhta Keraton Surakarta

Baca juga: Sri Susuhunan Paku Buwono XIII wafat: Inilah sosok penjaga budaya Jawa

Pewarta: Putri Atika Chairulia
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |