Jakarta (ANTARA) - Setiap tahun, lebih dari 200 ribu warga negara Indonesia berangkat menunaikan ibadah haji. Angka ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jamaah haji terbesar di dunia.
Namun, di balik kisah spiritual jutaan umat yang menunggu puluhan tahun untuk berangkat ke Tanah Suci, terselip sebuah cerita besar tentang pengelolaan keuangan negara.
Data Kementerian Agama (2024) menunjukkan, total setoran dana haji yang dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) telah mencapai lebih dari Rp160 triliun. Dana ini berasal dari setoran awal jamaah yang mendaftar haji sejak bertahun-tahun lalu, ditambah nilai manfaat hasil investasi.
Riset BPKH menyebutkan bahwa sekitar Rp7 triliun - Rp8 triliun nilai manfaat dana haji digunakan setiap tahun untuk menutup biaya subsidi perjalanan jamaah, sehingga biaya yang ditanggung langsung jamaah tidak melonjak terlalu tinggi.
Namun, berbagai studi mengingatkan adanya dilema fiskal. Laporan Bank Dunia (2022) tentang Managing Hajj Funds in Muslim Countries menekankan bahwa negara-negara pengirim jamaah besar seperti Indonesia, Pakistan, dan Bangladesh menghadapi persoalan serupa: menjaga keseimbangan antara keterjangkauan biaya haji bagi masyarakat dan keberlanjutan fiskal negara.
Sebuah kajian LIPI (2020) bahkan lebih tajam: subsidi haji yang terlalu besar berisiko menimbulkan distorsi fiskal karena dana umat dialihkan untuk menutup pembiayaan yang seharusnya lebih banyak ditanggung peserta haji itu sendiri. Selain itu, potensi risiko investasi dana haji apabila dikelola tidak hati-hati dapat berdampak negatif dan menjadi ancaman bagi APBN.
Di sinilah pentingnya revisi Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. UU ini bukan sekadar memperbaiki aspek pelayanan, tetapi juga menghadirkan era baru pengelolaan haji yang erat kaitannya dengan pengelolaan fiskal negara.
Salah satu poin strategis dari revisi UU tersebut adalah terbentuknya Kementerian Haji dan Umrah dalam sejarah perjalanan pelayanan jamaah Indonesia. Hal ini bukan sekadar penambahan lembaga negara, melainkan bentuk nyata kehadiran pemerintah dalam menjamin hak-hak umat Islam dalam menunaikan ibadah dan tentunya untuk itu membutuhkan dukungan pengelolaan fiskal yang memadai, transparan dan akuntabel
Urgensi perubahan konstitusional
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019, tata kelola penyelenggaraan haji di Indonesia masih berpegang pada regulasi lama, yakni Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008. Namun, aturan tersebut lambat laun dipandang tidak lagi mampu menjawab tantangan dan realitas baru yang berkembang.
Antusiasme masyarakat Indonesia untuk menunaikan ibadah haji terus meningkat setiap tahunnya, hingga menghasilkan daftar tunggu yang bisa mencapai puluhan tahun di sejumlah daerah. Kondisi ini menimbulkan tekanan besar, baik dalam aspek pelayanan maupun tata kelola kuota.
Di sisi lain, dana haji yang terkumpul dari setoran awal calon jamaah jumlahnya menumpuk hingga triliunan rupiah. Alih-alih menjadi instrumen strategis, dana besar tersebut belum dikelola secara optimal untuk mendukung transparansi, efisiensi, dan kemanfaatan jangka panjang.
Baca juga: BPKH salurkan nilai manfaat Rp2,1 triliun untuk jamaah haji tunggu
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.