Menata kebijakan honorer yang lebih manusiawi

1 hour ago 2

Mataram (ANTARA) - Pagi itu, Siti Rahma, seorang guru honorer di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), kembali mengajar seperti biasa. Sejak belasan tahun lalu ia berdiri di depan kelas, dengan gaji yang sering kali lebih kecil dari biaya transportasi harian.

Ketika pemerintah membuka jalur Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu, ia menaruh harapan besar. Namun harapan itu runtuh, ketika namanya tidak tercantum dalam daftar 11.029 honorer yang lolos di kabupaten tersebut. Rahma bukan satu-satunya, melainkan ada ribuan wajah kecewa di NTB yang bernasib sama.

Keberadaan tenaga honorer bukan hal baru. Sejak puluhan tahun lalu, mereka menjadi tulang punggung layanan publik di sekolah, puskesmas, hingga kantor pemerintahan. Namun status "tidak tetap" membuat mereka hidup dalam ketidakpastian.

Pemerintah kemudian meluncurkan skema PPPK paruh waktu sebagai jalan keluar. Sayangnya, aturan ketat dan keterbatasan kuota membuat banyak honorer tetap tertinggal di pinggir jalan.

Di Lombok Timur saja, 1.500 tenaga honorer tidak masuk database Badan Kepegawaian Negara (BKN), sehingga otomatis tidak bisa diusulkan ke pusat. Di tingkat provinsi, 518 pegawai honorer NTB masih menunggu keputusan gubernur terkait nasib mereka pada 2026. Angka-angka ini menggambarkan betapa luasnya persoalan yang dihadapi.

Seleksi PPPK paruh waktu dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum dan kesejahteraan, namun proses ini juga memunculkan persoalan baru. Di Dompu, muncul laporan dugaan tentang "honorer siluman" yang lolos meski tidak pernah bekerja dalam dua hingga tiga tahun terakhir. Ketua DPRD Dompu Muttakun, bahkan menyindir bahwa kalau tidak dilampirkan absensi, kambing pun namanya bisa masuk.

Di sisi lain, honorer yang puluhan tahun mengabdi justru tersisih karena persoalan administratif, seperti tidak masuk database, belum genap dua tahun mengabdi, atau sekadar gagal memenuhi syarat teknis. Ketimpangan ini menimbulkan rasa tidak adil di kalangan tenaga honorer yang selama ini bekerja nyata di lapangan.

Dampak sosial-ekonomi

Kegagalan masuk PPPK paruh waktu bukan sekadar soal status. Bagi sebagian honorer, ini berarti hilangnya kesempatan hidup lebih layak. Gaji honorer masih jauh dari upah minimum.

Banyak guru honorer di sekolah swasta, misalnya, hanya menerima Rp300.000 per bulan, sebagaimana insentif yang dibagikan Baznas Lombok Timur pada September lalu.

Secara sosial, banyak honorer yang merasa terpinggirkan. Mereka menanggung stigma sebagai tenaga "kelas dua", meski mereka menjalankan fungsi vital. Kekecewaan ini berpotensi menurunkan motivasi kerja.

Tidak sedikit yang akhirnya mencari pekerjaan sampingan atau bahkan meninggalkan profesinya. Padahal, di sektor pendidikan dan kesehatan, kehadiran mereka sangat dibutuhkan.

Di Lombok Tengah, kabar lebih cerah datang, sebanyak 4.591 tenaga honorer dinyatakan lulus seleksi administrasi PPPK paruh waktu. Mereka akan segera menerima surat keputusan tanpa harus mengikuti ujian ulang. Hanya saja, kabar baik ini terasa timpang bila dibandingkan dengan daerah lain, seperti Lombok Timur atau Dompu.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah kebijakan PPPK paruh waktu benar-benar mampu menyelesaikan masalah honorer, atau justru memperlebar kesenjangan antarwilayah?

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |