Jakarta (ANTARA) - Hari pertama bulan Mei selalu menjadi momen untuk melihat lebih luas tantangan dan perjuangan kelas pekerja di dunia, termasuk Indonesia, setiap tahunnya.
Sinema, dapat menjadi medium yang menyenangkan untuk menangkap potret kehidupan kaum buruh dari era ke era, generasi ke generasi, dengan pendekatan yang lekat dan terkadang cukup puitis.
Dalam memori terkini, ada beberapa film Indonesia yang cukup mencolok untuk menyoroti isu ekonomi-sosial ini, sebut saja “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” (2010), “Home Sweet Loan” (2024), hingga yang terbaru adalah “1 Kakak 7 Ponakan” (2025).
“Alangkah Lucunya (Negeri Ini)”, film yang disutradarai dan dibintangi oleh Deddy Mizwar 15 tahun lalu, dengan pendekatan satir nan jenaka dan hangat, membungkus fenomena susahnya bagi sarjana untuk mendapatkan pekerjaan yang laik.
Di film tersebut, Muluk (diperankan oleh Reza Rahadian) merupakan seorang sarjana manajemen yang kesulitan mencari pekerjaan terlepas dari pendidikan tingginya di ibu kota.
Pun dengan teman-teman satu kampungnya seperti Pipit (diperankan oleh Tika Bravani) dan Samsul (Asrul Dahlan) yang lulus sebagai sarjana, tapi kehidupannya setelah wisuda tidak kunjung membuahkan penghidupan yang pantas.
Bagaikan mesin waktu, fenomena ini ternyata masih cukup relevan dengan kondisi para lulusan sarjana Indonesia lebih dari satu dekade kemudian.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 842.378 orang lulusan perguruan tinggi (D4, S1, S2, S3) yang menjadi pengangguran pada tahun 2024. Angka ini menunjukkan bahwa sekitar 11,28 persen dari total pengangguran di Indonesia adalah lulusan perguruan tinggi.
Fakta ini membuat jumlah sarjana yang menganggur mengalami peningkatan signifikan dari 2014 (495.143) hingga 2020 (981.203), kemudian sedikit menurun menjadi 842.378 pada 2024.
Sama seperti sebuah kutipan di film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)”, pertanyaan yang mirip masih muncul 15 tahun kemudian: “Apakah pendidikan bisa menjamin dapat kerja?”.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli pada Maret 2025, tidak menampik realita tersebut. Ia menilai faktor banyaknya pengangguran di Indonesia disebabkan ketidakcocokan atau mismatch antara keterampilan para lulusan sarjana dan kebutuhan industri.
Terlebih, lulusan perguruan tinggi ini didominasi oleh para pemilik usia produktif dengan rentang usia 21-29 tahun.
Pada 2024, tercatat target penyerapan tenaga kerja mencapai 66,7 persen. Hanya saja, persaingan dunia kerja harus diakui sangat sengit dan kompetitif — mengingat ribuan mahasiswa lulus setiap tahun, sementara peluang untuk mereka bekerja tidak sebanding.
Dengan Indonesia yang juga akan memiliki bonus demografi 10 tahun ke depan, jika tantangan “sarjana pengangguran” ini tidak segera diatasi.
Menaker mengatakan, pemerintah kini berupaya untuk meningkatkan keterampilan para lulusan sarjana seperti program-program pelatihan di Balai Latihan Kerja (BLK), diiringi dengan peninjauan dan evaluasi kurikulum dari universitas.
Selain itu, ia menilai diperlukan adanya kerja sama antara pemerintah, kampus, dan dunia usaha serta industri nasional agar bisa membuka kesempatan dan penyerapan tenaga kerja bagi para sarjana ini.
Tantangan pekerja di era modern
Topik terkait ketenagakerjaan tidak lepas dari isu-isu ekonomi dan sosial lainnya yang sangat berkaitan.
Film Indonesia yang masing-masing tayang di bioskop pada 2024 dan 2025, “Home Sweet Loan” karya sutradara Sabrina Rochelle Kalangie dan “1 Kakak 7 Ponakan” yang disutradarai oleh Yandi Laurens, mengangkat isu kesejahteraan pekerja-pekerja muda yang lebih kompleks.
Kedua film ini memiliki benang merah terkait pekerja muda yang menjadi pencari nafkah utama (breadwinners) bagi keluarganya — rela mengedepankan kebutuhan keluarga daripada impian-impian mereka sendiri dan menjadi generasi sandwich.
“Home Sweet Loan” banyak menyentuh soal kesulitan pekerja perempuan muda bernama Kaluna (diperankan oleh Yunita Siregar), yang bermimpi memiliki rumah sendiri, tapi terhimpit oleh tingginya harga hunian, hingga masalah lainnya seperti adanya anggota keluarga yang terjerat pinjaman daring/online (pinjol).
Sementara pada “1 Kakak 7 Ponakan”, seorang arsitek muda bernama Moko (diperankan oleh Chicco Kurniawan), harus berjuang menanggung beban ekonomi dan emosional untuk dua generasi sekaligus — yakni orang tua dan anak-anak.
Dengan tahun rilis yang lebih baru dengan masa kini, tidak mengherankan jika kehidupan Kaluna dan Moko terasa lebih dekat dengan masyarakat.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menunjukkan bahwa sekitar 71 juta penduduk Indonesia merupakan generasi sandwich. Angka ini mencakup lebih dari seperempat penduduk Indonesia, dan dapat dikategorikan sebagai pekerja rentan.
Dalam bidang Ilmu Perencanaan Sumber Daya Manusia (SDM), dikenal pula dengan istilah rasio ketergantungan yang bisa dijadikan indikator keadaan ekonomi negara.
Berdasarkan data BPS, rasio ketergantungan terhadap usia produktif di Indonesia tercatat sebesar 44,67 persen pada 2022. Ini berarti ada sekitar 44-45 per 100 orang usia nonproduktif di Indonesia bergantung kepada mereka yang berusia produktif.
Pemerintah sebagai regulator perlu untuk ikut terjun langsung agar para pekerja muda, utamanya mereka yang terhimpit tantangan ekonomi di atas dan bawah, bisa “bebas” — atau setidaknya sedikit terbantu.
Beberapa langkah itu, di antaranya peningkatan jaminan sosial termasuk jaminan hari tua; dukungan pendidikan dan pelatihan vokasi yang relevan dengan kebutuhan pasar; edukasi perencanaan keuangan yang matang; hingga penguatan kebijakan sosial terkait kesejahteraan kaum muda maupun lansia.
Kisah-kisah yang diangkat para sineas dalam negeri — yang terpotret melalui perjalanan Muluk, Kaluna, dan Moko — tentu bukan sekadar ajang untuk meromantisasi peluh dari perjuangan buruh belaka.
Sinema, pada hakikatnya adalah karya seni yang merefleksikan realita di era ketika film itu diciptakan, meskipun pada akhirnya kita bisa kembali menyaksikannya di kemudian hari.
Selayaknya sebuah film, visi dan cita-cita besar dalam konteks ketenagakerjaan ini bisa terwujud ketika banyak orang, banyak pihak berkomitmen untuk menjalankan perannya masing-masing.
Dan kali ini, adalah momen untuk membantu, membangun, dan memberikan kemudahan bagi kaum pekerja — para pemutar roda ekonomi negara — untuk mendapatkan “happy ending” yang nyata, yang tak hanya sekadar bisa terjadi di film-film saja.
Copyright © ANTARA 2025