Jakarta (ANTARA) - Berbicara mengenai pendidikan, ketimpangan akses di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) masih menjadi tantangan besar yang perlu ditaklukkan dalam mewujudkan pendidikan nasional yang berkualitas dan merata.
Hadirnya Panitia Kerja (Panja) Pendidikan di Daerah 3T dan Marginal Komisi X DPR RI melahirkan harapan besar bahwa mimpi mengenai pemerataan kualitas pendidikan nasional itu dapat segera terwujud.
Panja tersebut telah menggelar sejumlah rapat dengar pendapat dengan menghadirkan beragam narasumber, terutama organisasi masyarakat sipil di bidang pendidikan yang begitu dekat dengan persoalan ketimpangan pendidikan di daerah 3T.
Sejumlah kondisi memilukan tentang minimnya fasilitas pendidikan yang memadai dan keterbatasan jenjang pendidikan yang ditempuh masyarakat terungkap dari laporan organisasi itu.
Salah satunya dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI). Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil pantauan pihaknya di lapangan, seperti di wilayah pedalaman Kalimantan dan Papua, ditemukan banyak sekolah yang tidak memiliki guru tetap, buku pelajaran yang layak, atau akses internet untuk mendukung pembelajaran digital.
“Bagaimana kita bisa bicara Merdeka Belajar jika murid harus menulis dengan arang di papan karena tidak ada buku?” kata Ubaid.
Lalu, JPPI juga mencatat bahwa pada tahun 2024, hampir 50 persen anak-anak di daerah 3T hanya mampu menyelesaikan pendidikan hingga jenjang sekolah dasar (SD). JPPI menyampaikan terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena putus sekolah di daerah 3T.
Di antaranya adalah faktor jumlah sekolah yang kurang dan kualitas yang buruk, jarak dan medan menuju sekolah yang susah diakses, kondisi keluarga yang tidak mampu membayar biaya pendidikan, pernikahan dini dan pekerja anak, serta rendahnya kesadaran mengenai pentingnya sekolah.
Terkait dengan jarak sekolah, Ubaid menyampaikan bahwa secara umum, sekolah yang dekat dengan permukiman warga di daerah 3T terbatas pada tingkat pendidikan dasar. Sementara itu, apabila hendak menempuh pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) dan menengah atas (SMA), masyarakat di daerah 3T diharuskan menempuh jarak yang jauh.
Masalah-masalah itu lantas membuat sejumlah masyarakat di daerah 3T berpandangan bahwa upaya membangun ketahanan ekonomi keluarga lebih penting dan lebih layak diperjuangkan daripada bersekolah. Mereka belum memiliki pola pikir bahwa dengan bersekolah, seseorang mampu memiliki perekonomian yang lebih baik.
Baca juga: DPR minta kepala daerah aktif atasi masalah pendidikan di daerah 3T
Masyarakat di daerah 3T cenderung berpikiran dengan bersekolah pun, mereka hanya bisa menjadi petani, nelayan, dan bekerja di hutan.
Melihat berbagai tantangan tersebut, JPPI lalu mendorong pemerintah untuk menyediakan anggaran khusus pendidikan bagi daerah 3T, termasuk dukungan logistik pendidikan seperti modul cetak, peralatan belajar sederhana, dan pelatihan guru lokal.
Selain JPPI, kondisi pendidikan 3T pun disoroti oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Di hadapan Panja Pendidikan di Daerah 3T dan Marginal, Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengungkapkan bahwa jumlah kerusakan sekolah di Indonesia masih terbilang tinggi, terutama di jenjang SD dan SMP. Dia mengungkapkan bahwa dari total 20.573 sekolah tingkat PAUD-SMA/SMK di daerah 3T, sebanyak 10.294 sekolah rusak.
Ia menyampaikan pula bahwa sarana pendukung kegiatan belajar dan mengajar, seperti perpustakaan dan laboratorium juga masih kurang. Bahkan, kata dia melanjutkan, lebih dari 5.783 sekolah belum dialiri listrik dan sebanyak 10.692 sekolah tidak memiliki sinyal internet.
Menanggapi paparan itu, Komisi X DPR RI melalui Panja Pendidikan di Daerah 3T dan Marginal telah menyatakan komitmennya untuk menyusun peta jalan kebijakan afirmatif. Ketua Komisi X Hetifah Sjaifudian menegaskan bahwa pemerataan pendidikan bukan sekadar mengenai persoalan membangun sekolah, melainkan juga tentang membangun ekosistem pendidikan yang lengkap, dari unsur guru, sarana, hingga teknologi.
Berikutnya, Komisi X DPR RI juga menyoroti pentingnya sinergi lintas kementerian, seperti Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah; Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek); Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendes PDT); hingga Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) untuk menjawab persoalan digitalisasi pendidikan di daerah tertinggal.
Baca juga: JPPI: Perlu perubahan pola pikir demi cegah putus sekolah di daerah 3T
Komisi di DPR yang membidangi sektor pendidikan itu berpandangan bahwa akses internet dan teknologi yang timpang harus segera diatasi guna mencegah jurang ketidakadilan pendidikan di era digital saat ini semakin melebar.
Langkah konkret yang mulai diwacanakan oleh Komisi X DPR RI, antara lain mendorong “sekolah bergerak” atau sekolah yang dihadirkan lebih dekat dengan wilayah-wilayah terisolasi dan dukungan terhadap guru-guru lokal melalui insentif dan program beasiswa afirmasi. Program seperti Indonesia Mengajar, SM-3T, serta KIP Kuliah juga akan dievaluasi efektivitasnya untuk menjangkau daerah-daerah marginal.
Wakil Ketua Komisi X DPR Himmatul Aliyah bahkan mengusulkan adanya kebijakan fiskal afirmatif bagi kepala daerah yang berhasil meningkatkan indikator pendidikan di wilayah 3T.
Dengan semakin banyaknya suara dari lapangan dan respons serius dari parlemen, harapan untuk kehadiran pendidikan yang berkualitas dan merata mulai membesar. Namun, perjuangan itu belum selesai.Pemerataan pendidikan di daerah 3T membutuhkan kesabaran, konsistensi, dan komitmen jangka panjang dari semua pihak, termasuk masyarakat. Jika tak segera ditangani secara komprehensif, jurang ketimpangan itu dikhawatirkan akan menjadi bom waktu yang mempengaruhi masa depan generasi bangsa.
Baca juga: Komisi X: Butuh dukungan anggaran atasi masalah pendidikan daerah 3T
Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
Copyright © ANTARA 2025