Memahami spektakel penyelamatan uang negara

1 day ago 8
Hampir Rp20 triliun uang negara yang telah dipertontonkan merupakan capaian yang signifikan, tetapi, sekaligus pengingat bahwa kerugian negara akibat korupsi bersifat sistemik dan jauh lebih besar.

Jakarta (ANTARA) - Selama 2025 ini, terdapat momen ketika publik dipertontonkan uang sitaan hasil tindak pidana korupsi dan kejahatan keuangan oleh Kejaksaan Agung di hadapan Presiden Prabowo Subianto. Ini menandai pergeseran penting dalam cara negara mengomunikasikan penegakan hukum.

Tumpukan uang bernilai Rp6,625 triliun yang ditampilkan ke publik, sebelumnya Rp13,255 triliun dari perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO), membuat total uang negara yang pernah dipertontonkan di ruang publik mendekati Rp20 triliun.

Angka tersebut tidak hanya hadir sebagai statistik, tetapi menjadi simbol visual yang kuat tentang klaim keberhasilan negara merebut kembali uang rakyat yang sebelumnya dirampas melalui praktik melawan hukum.

Dalam masyarakat yang selama ini hanya mengenal kerugian negara melalui angka abstrak dalam laporan audit atau putusan pengadilan, visualisasi uang sitaan menghadirkan sesuatu yang konkret, khususnya transparansi atas penyelamatan uang negara yang telah dilakukan melalui aksi nyata koordinasi aparat penegak hukum dengan pihak terkait.

Visualisasi uang sitaan itu mengingatkan pada
konsep spektakel yang dijelaskan Guy Debord dalam "The Society of the Spectacle" (1967) sebagai mekanisme kekuasaan modern yang bekerja melalui citra dan representasi visual. Negara berbicara, bukan hanya lewat hukum, tetapi juga lewat apa yang diperlihatkan. Murray Edelman (1964; 1988) menyebut praktik ini sebagai politik simbolik, yang bertujuan membangun rasa keadilan dan ketertiban di benak publik.

Hanya saja, spektakel selalu berjalan di batas tipis antara transparansi dan pertunjukan. Transparansi menuntut kejelasan proses hukum, status aset, dan mekanisme pengembalian ke kas negara, sementara pertunjukan lebih menekankan dampak visual dan emosional.

Donald Moynihan (2008) dalam "The Dynamics of Performance Management" menegaskan bahwa simbol kinerja yang tidak diikuti perbaikan sistemik justru berisiko menciptakan kekecewaan publik. Spektakel, dengan demikian, adalah strategi berisiko tinggi: efektif membangun persepsi jangka pendek, tetapi menuntut pembuktian kebijakan jangka panjang.


Bahasa kekuasaan

Dalam perspektif sosiologi politik, kekuasaan tidak hanya bekerja melalui instrumen koersif, seperti hukum dan sanksi, tetapi juga melalui simbol, narasi, dan ritual publik. Max Weber dalam "Economy and Society" (1922) menegaskan bahwa legitimasi kekuasaan bertumpu pada penerimaan sosial, bukan semata-mata pada legalitas formal.

Ketika negara menampilkan uang sitaan dalam jumlah besar di hadapan kepala negara dan publik, tindakan tersebut menjadi bagian dari ritual legitimasi, yang menyampaikan pesan bahwa kekuasaan negara masih efektif, berdaulat, dan mampu mengoreksi penyimpangan yang merugikan kepentingan publik.

Baca juga: Kejagung serahkan uang Rp13,2 triliun dari kasus CPO ke negara

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |