Ketua MUI: Polemik pembangunan tempat ibadah tak perlu terjadi

3 weeks ago 11

Kediri (ANTARA) - Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Anwar Iskandar mengatakan polemik pembangunan tempat ibadah seharusnya tidak terjadi.

Ketua MUI menegaskan bahwa mendirikan tempat ibadah menjadi bagian dari pelaksanaan UUD Pasal 29 tentang kebebasan beragama dan beribadah sesuai keyakinan masing-masing, sehingga mendirikan tempat beribadah merupakan hak yang dilindungi oleh undang-undang.

“Mendirikan tempat ibadah itu bagian dari pelaksanaan UUD Pasal 29 tentang kebebasan beragama dan beribadah sesuai keyakinan masing-masing. Sehingga mendirikan tempat beribadah itu hak yang dilindungi oleh undang-undang,” katanya di Kediri, Jawa Timur, Senin.

Ia prihatin dengan masih adanya polemik pembangunan tempat ibadah, termasuk di Kediri, yang beberapa waktu lalu pernah mencuat. Adanya isu pembangunan gereja yang sempat tertunda, karena dinilai belum memenuhi persyaratan administrasi pembangunan.

Namun, menurut dia, hal itu perlu diatur.

“Semua itu kan harus diatur. Untuk mengatur itu pemerintah membuat Surat Keputusan Bersama 2 Menteri (Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 (SKB 2 Menteri) terkait syarat pendirian rumah ibadah. Jadi, sepanjang sesuai dengan SKB 2 Menteri (memenuhi persyaratan pembangunan tempat ibadah), ya harus jalan,” kata dia.

Dalam SKB 2 Menteri itu, kata dia, juga mempertimbangkan kearifan lokal di masing-masing daerah agar tidak memunculkan polemik di tengah masyarakat.

Ia mengatakan terdapat forum kerukunan umat beragama (FKUB) di daerah termasuk Kediri, yang hadir untuk memfasilitasi hal tersebut, agar setiap masyarakat benar-benar menerima secara transparan dan sukarela.

“Kenapa kemudian ada FKUB? Itu merupakan bagian dari kearifan lokal yang setiap daerah punya. Kenapa itu dilakukan, ya tentu agar ke depan semua berjalan smooth karena sudah mendapatkan lampu hijau dari masyarakat,” kata dia.

Baca juga: Respon kasus Sukabumi, MUI ajak masyarakat perkuat kerukunan beragama

Gus War, sapaan akrabnya, menambahkan, masyarakat di Kota Kediri juga sudah cukup memahami kondisi ini. Terlebih lagi, Kota Kediri meraih predikat 10 besar Kota Paling Toleran di Indonesia berdasarkan penilaian Indeks Kota Toleran (IKT) 2023 yang dirilis oleh Setara Institute, sehingga tentunya toleransi juga dijunjung tinggi.

Ia menambahkan, dalam suasana kemerdekaan Indonesia yang hangat ini, tak ingin ada lagi polemik-polemik pemecah persatuan, seperti radikalisasi dan politisasi agama, serta penolakan-penolakan pembangunan tempat ibadah yang terjadi di beberapa daerah.

Menurut dia, perbedaan bukanlah alasan untuk terpecah, melainkan harus menjadi kekuatan untuk saling melengkapi dan memperkuat bangsa.

Pengasuh Pondok Pesantren Al Amien Kota Kediri itu juga menekankan bahwa kerukunan antarumat beragama adalah fondasi penting dalam menjaga stabilitas bangsa.

Oleh karena itu, setiap pihak, baik tokoh agama, masyarakat, maupun pemerintah, memiliki tanggung jawab bersama dalam merawat persaudaraan dan menjaga kedamaian.

“Kalau secara pribadi menurut saya, semua orang beragama harus diberi kesempatan membangun rumah ibadahnya. Itu hak yang esensial, tidak boleh orang melarang. Kecuali ada sesuatu yang memang dianggap mengganggu,” kata dia.

Gus War juga mengajak seluruh umat beragama untuk terus mengedepankan sikap toleransi, saling menghargai, serta menghindari provokasi yang berpotensi merusak keharmonisan sosial.

Baca juga: MUI upayakan penguatan rasa persaudaraan lewat Piagam Ukhuwah

“Predikat itu hanya soal simbol, tidak terlalu penting, tetapi yang penting kesadaran untuk hidup rukun di sebuah negara bangsa,” kata Gus War.

Pewarta: Asmaul Chusna
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |