Jejak deforestasi dan tantangan ekonomi hijau pada bencana di Sumatera

2 days ago 3

Jakarta (ANTARA) - Banjir dan longsor besar yang melanda Sumatera pada akhir November hingga awal Desember 2025 kembali menegaskan kerentanan ekologis Indonesia. Peristiwa ini bukan semata hasil dinamika alam, tetapi merupakan akumulasi panjang kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas manusia.

Deforestasi masif, drainase gambut, dan alih fungsi lahan yang tidak terkendali menjadi pemicu utama melemahnya daya dukung hidrologi di Pulau Sumatera. Ketika hujan ekstrem datang, ekosistem yang telah rusak tidak mampu menahan limpasan air, sehingga banjir bandang dan longsor terjadi hampir bersamaan di berbagai daerah.

Laju deforestasi dua dekade terakhir merupakan faktor paling signifikan dalam menjelaskan kerentanan wilayah terdampak. Pemantauan tutupan lahan menggunakan citra satelit, seperti laporan Global Forest Watch dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mengindikasikan bahwa Sumatera kehilangan jutaan hektare hutan alam sejak awal 2000-an.

Hilangnya hutan akibat ekspansi sawit, kehutanan industri, dan pembangunan infrastruktur membuat fungsi hidrologis kawasan hulu rusak. Sejumlah penelitian hidrologi menunjukkan bahwa deforestasi meningkatkan rasio aliran permukaan (runoff), menurunkan infiltrasi, dan mempercepat erosi.

Kondisi ini mengakibatkan daerah aliran sungai (DAS) merespons hujan ekstrem dengan lebih cepat, menyebabkan kenaikan debit sungai yang tajam dalam waktu singkat. Daerah-daerah rusak paling besar dalam bencana 2025 memiliki riwayat kehilangan tutupan hutan yang tinggi, menguatkan hubungan kausal antara degradasi lahan dan tingginya risiko banjir.

Kerusakan gambut memperburuk risiko, khususnya di dataran rendah Sumatera. Secara ekologis, lahan gambut berfungsi sebagai reservoir air alami. Namun drainase untuk membuka perkebunan sawit dan hutan tanaman industri telah membuat muka air gambut turun drastis sehingga permukaan tanah turun dan kehilangan kapasitas tampung air.

Berbagai studi internasional di jurnal Wetlands Ecology and Management, Forest Ecology and Management, serta publikasi MDPI menunjukkan bahwa gambut yang dikeringkan dapat kehilangan hingga 80 persen kemampuan retensi air.

Ketika hujan ekstrem tiba, air tidak lagi diserap tetapi mengalir deras ke hilir, menciptakan banjir bandang. Penelitian lapangan di Riau dan Sumatera Selatan juga menemukan hubungan kuat antara kepadatan kanal drainase, penurunan permukaan gambut, dan frekuensi banjir bandang.

Selain bukti ekologis, pemodelan hidrologi menggunakan simulasi 1D/2D pada sungai-sungai besar di Aceh, Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Barat telah mengonfirmasi kerusakan kapasitas tampung sungai. Sedimentasi tinggi, perubahan geometri alur sungai, dan menurunnya roughness membuat sungai lebih cepat meluap.

Debit puncak muncul dalam durasi yang lebih singkat sehingga banjir bersifat bandang dan memberikan sedikit waktu bagi warga untuk menyelamatkan diri. Kerusakan ini memperlihatkan bagaimana degradasi ekosistem di hulu, tengah, dan hilir bekerja secara simultan menghasilkan bencana berskala besar. Dampak bencana pada tahun 2025 menunjukkan skala kerusakan yang luar biasa.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |