Jakarta (ANTARA) - Selama satu dekade terakhir, dinamika harga properti di tiga negara inti ASEAN yakni Singapura, Malaysia, dan Indonesia telah mencerminkan bukan hanya perbedaan struktural dalam fondasi ekonomi masing-masing negara, tetapi juga respons yang berbeda terhadap tekanan global seperti pandemi, inflasi, dan perubahan nilai tukar.
Menganalisis perbedaan ini bukan sekadar studi statistik, tetapi jendela untuk memahami peta investasi regional yang lebih cerdas dan rasional, khususnya bagi investor yang mempertimbangkan diversifikasi lintas negara.
Meski begitu menurut laporan riset ekuitas dari DBS Group, pasar properti Singapura akan menghadapi ujian besar berikutnya di tengah perang dagang yang sedang berlangsung antara AS dan China, serta ketidakpastian terkait tarif global yang diberlakukan Presiden AS, Trump.
Sebagai ekonomi yang bergantung pada perdagangan, Singapura kemungkinan besar akan merasakan tekanan, sebut laporan yang dirilis pada 23 April tersebut.
DBS Group mencatat Indeks Harga Properti di Singapura secara keseluruhan naik 0,6 persen pada kuartal I 2025, melambat dibandingkan pertumbuhan 2,3 persen yang tercatat pada kuartal sebelumnya.
Mengingat potensi penurunan permintaan, DBS telah merevisi proyeksi pertumbuhan harga properti di Singapura untuk tahun 2025 menjadi antara 0 persen hingga 1 persen, dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya di kisaran 1 persen hingga 2 persen
Bagaimanapun Singapura, sebagai pusat keuangan regional dan global, diprediksi akan tetap menunjukkan konsistensi dalam kenaikan harga properti yang didukung oleh stabilitas ekonomi, kepadatan urban, dan permintaan dari kelas atas.
Selama ini, kenaikan kumulatif sekitar 53,5 persen selama sepuluh tahun dengan pertumbuhan riil 20–25 persen menjadi indikator kuat bahwa properti di “negara-kota” ini tidak hanya menjadi tempat tinggal, melainkan juga simbol prestise dan alat lindung nilai.
Ketahanan harga di sektor properti publik, terutama HDB, yang naik 9,6 persen dalam setahun terakhir, menggarisbawahi kekuatan permintaan domestik yang terjaga.
Dalam konteks regional, Singapura menjadi outlier yang hampir tidak terpengaruh oleh inflasi dan depresiasi nilai tukar, dengan SGD hanya berfluktuasi 2,3 persen dalam sepuluh tahun.
Sebaliknya, Malaysia dan Indonesia menghadapi tantangan yang lebih kompleks. Malaysia mencatat pertumbuhan nominal properti sebesar 47,7 persen, tetapi bila disesuaikan dengan inflasi dan depresiasi MYR yang signifikan dari 3,3 menjadi 4,4 terhadap USD, maka nilai riilnya nyaris stagnan.
Pasar properti Malaysia memang dilaporkan mengalami pertumbuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan nilai transaksi properti melebihi 217,46 miliar ringgit Malaysia pada awal tahun 2024, melampaui target awal, menurut New Straits Times.
Struktur pasar Malaysia menunjukkan dualitas yang tajam, over-supply properti mewah yang lesu dan kelangkaan hunian terjangkau yang sangat diminati.
Fenomena ini mengindikasikan ketimpangan dalam arah pembangunan properti yang tidak sepenuhnya sinkron dengan permintaan aktual masyarakat.
Kebijakan seperti Malaysia My Second Home (MM2H) memang menarik investasi asing, tetapi tidak cukup untuk menggerakkan seluruh pasar secara inklusif.
Indonesia lebih kompleks lagi. Dengan pertumbuhan harga properti hanya sekitar 20 persen secara nominal dan beberapa tahun mencatat penurunan riil setelah disesuaikan inflasi, Indonesia menjadi negara dengan performa terlemah dalam investasi properti di kawasan inti ASEAN.
Depresiasi rupiah terhadap dolar AS dari 12.500 ke 16.500, sebesar 33 persen, memperburuk imbal hasil riil bagi investor asing. Bahkan di sektor apartemen mewah di Jakarta yang relatif stabil, volume transaksi tetap rendah.
Namun, ada anomali positif, kawasan sekitar proyek infrastruktur besar seperti kereta cepat menunjukkan pertumbuhan dua digit, membuktikan bahwa investasi berbasis konektivitas fisik masih menjanjikan.
Sektor properti wisata di Bali juga mulai pulih dengan imbal hasil sewa 5–7 persen, menjadikannya titik terang yang potensial dalam lanskap yang cenderung lesu.
Faktor kunci
Jika dicermati, penyebab utama disparitas ini berasal dari tiga faktor kunci mencakup stabilitas nilai tukar, arah kebijakan negara, dan kualitas permintaan domestik.
Singapura unggul karena semua faktor ini mendukung secara simultan. Malaysia setengah berhasil karena kebijakan pro-investor tidak diimbangi dengan dinamika sosial-ekonomi lokal yang cukup kuat.
Indonesia, meskipun pasar domestiknya besar, belum mampu mengoptimalkan potensi ini menjadi pertumbuhan harga properti yang solid karena lemahnya daya beli, disparitas regional, dan ketidakpastian regulasi.
Meski begitu, Ketua Umum Afiliasi Global Ritel Indonesia (AGRA) Roy N. Mandey mengatakan, sektor properti di Indonesia diproyeksikan tetap tumbuh stabil di tahun 2025 meski saat ini dunia sedang dalam gejolak ketidakpastian global karena berbagai hal seperti perang tarif.
"Investasi properti pada sektor residensial dan komersial diprediksi tumbuh 15-18 persen yoy pada 2025, dengan kontribusi terhadap PDB meningkat dari 10 persen pada 2024, menjadi 11,5 persen pada 2025," kata Roy N. Mandey.
Hal yang tak kalah penting adalah pilihan instrumen investasi. Dengan harga properti di lokasi inti seperti Marina Bay, Segitiga Emas Jakarta, dan pusat Kuala Lumpur yang menembus puluhan miliar rupiah atau jutaan dolar, sebagian besar investor ritel praktis terpinggirkan.
Maka untuk itulah dalam perkembangannya keberadaan Real Estate Investment Trusts (REITs) menjadi alternatif yang sangat rasional.
REITs merupakan suatu perangkat (wadah) investasi yang digunakan untuk menghimpun dana dari pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam aset real estat oleh Manajer Investasi.
Instrumen ini memberi kesempatan kepada investor kecil untuk memiliki aset real estat berkualitas baik dan pada saat yang sama menikmati keuntungan sebagaimana yang diperoleh pemilik Reksa Dana. Di sisi yang lain, REIT memberikan kesempatan kepada pengembang untuk mengakses pendanaan melalui pasar modal.
Singapura dan Malaysia memiliki pasar REITs yang jauh lebih matang dibandingkan Indonesia.
Di Singapura, REITs seperti CapitaLand Ascendas mencatat pertumbuhan harga saham lebih dari 100 persen dalam sepuluh tahun, dengan imbal hasil dividen 6–7 persen per tahun.
Jika digabungkan, total imbal hasil mencapai 200 persen, atau setara dengan 11,6 persen per tahun, angka yang luar biasa bila dibandingkan dengan properti fisik yang memberikan return 4–5 persen saja.
Indonesia tertinggal jauh dalam hal ini. Pasar REITs domestik masih terbatas, dengan mayoritas belum listing, likuiditas rendah, dan minim partisipasi institusi global.
Ini mencerminkan kurangnya insentif regulasi dan minimnya kesadaran masyarakat tentang bentuk investasi ini. Padahal, bagi investor yang menginginkan fleksibilitas, likuiditas tinggi, dan ambang modal masuk yang rendah, REITs adalah pilihan unggulan.
Bahkan dalam kondisi krisis, REITs masih lebih cepat dilikuidasi dibanding properti fisik, yang bisa memerlukan waktu berbulan-bulan untuk dijual.
Strategi tepat
Rengganis K. Wisaksono dan Prof. Emmy Pangaribuan SH dalam kajiannya berjudul Perspektif "Real Estate Investment Trust" (REIT) dalam hukum pasar modal di Indonesia yang diterbitkan UGM pada 2006 disebutkan bahwa REIT memiliki prospek yang baik di Indonesia sejauh terdapat regulasi yang mendukung dan mengakomodasi kebutuhan pelaku pasar.
Selain itu, juga dibutuhkan peraturan perpajakan yang memberikan insentif penghapusan pajak di tingkat perusahaan dengan syarat bahwa REIT harus memiliki basis kepemilikan yang luas dan sebagian besar pendapatan REIT harus didistribusikan dalam bentuk dividen kepada investor.
Namun demikian, penting juga dipahami bahwa REITs bukan saham biasa. Meskipun diperdagangkan di bursa, REITs mewakili instrumen pendapatan pasif dari kepemilikan properti produktif, bukan spekulasi harga murni seperti saham teknologi atau komoditas.
Logika investasinya serupa dengan memiliki properti fisik, mengandalkan pendapatan sewa dan apresiasi aset, namun tanpa kerepotan manajemen langsung atau biaya-biaya yang tersembunyi seperti pajak bumi dan bangunan, perawatan, dan broker fee.
Dari seluruh analisis ini, satu hal menjadi terang bahwa investasi properti bukan hanya soal lokasi dan harga, tetapi juga strategi dan struktur.
Dalam konteks ASEAN, Singapura menawarkan kestabilan, Malaysia menjanjikan peluang diferensiasi, dan Indonesia menyimpan potensi transformasi jangka panjang.
Namun, untuk saat ini, bagi investor dengan modal terbatas, pendekatan melalui REITs terutama di Singapura adalah jalur paling efisien.
Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki likuiditas besar dan kesiapan jangka panjang, properti di lokasi inti tetap menjadi primadona yang nyaris tak tergantikan.
Dengan kata lain, keputusan berinvestasi di sektor properti bukan semata pilihan antara lokasi atau harga, melainkan pilihan antara likuiditas dan pertumbuhan.
Dan pada akhirnya, investasi yang cerdas selalu dimulai dari pemahaman mendalam terhadap konteks ekonomi, bukan sekadar iming-iming keuntungan.
Copyright © ANTARA 2025