Jakarta (ANTARA) - Indonesia dan Jerman melakukan kolaborasi dalam riset terkait industri tekstil yang berkelanjutan melalui program proyek BMBF EnaTex.
"Riset ini merupakan kolaborasi lintas sektor antara industri dan perguruan tinggi, " ujar Akademisi dari Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya, Dr. Juliana Murniati, di Jakarta, Rabu.
Dia menjelaskan mitra Indonesia dan Jerman dalam proyek BMBF EnaTex mengembangkan pendekatan baru dan mengoptimalkan proses dalam industri yang berkelanjutan. Dengan luaran yakni penghematan hingga 40 persen melalui berbagai tindakan, seperti persiapan penyempurnaan, pewarnaan, dan penyelesaian akhir.
"Banyak negara kini menerapkan tarif tinggi untuk bahan bakar fosil sebagai respons terhadap isu perubahan iklim. Di Eropa, produk berbasis bahan bakar fosil dikenakan biaya lebih mahal, sementara industri tekstil global mulai menuntut rantai pasokan yang bebas karbon. Oleh karena itu, industri tekstil dan garmen di Indonesia perlu bersiap mengadopsi regulasi seperti European Green Deal," jelas Murni.
Murni juga menjelaskan bahwa selama empat tahun, proyek EnaTex mengkaji peluang yang tersedia bagi perusahaan industri tekstil Indonesia untuk menghemat energi fosil, sehingga dapat terus bertahan di pasar global. EnaTex didanai oleh Kementerian Pendidikan dan Riset Jerman dengan dua perguruan tinggi di Indonesia yang menjadi anggota konsorsium ini, yakni Unika Atma Jaya, Jakarta dan Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil, Bandung.Juga terdapat mitra industri yakni SriTex dan Harapan Kurnia selaku mitra industri.
Konsorsium Jerman terdiri dari lembaga penelitian IZES, University of Applied Sciences, Niederrhein, perusahaan Brückner Trockentechnik GmbH & Co. KG dan Sunfarming.
Baca juga: Prabowo sebut penyelundupan tekstil ancaman bagi kedaulatan bangsa
Dosen Politeknik STTT Bandung, Dr Mohammad Widodo, mengatakan proyek riset itu mampu menentukan pengukuran jangka pendek, menengah, dan panjang untuk meminimalkan penggunaan bahan bakar fosil.
Misalnya, bahan kimia fungsional dapat diaplikasikan dengan bantuan aplikasi minimal pada satu sisi dan dengan cairan sesedikit mungkin. Hal itu dapat secara drastis mengurangi proses pengeringan selanjutnya dan menghasilkan penghematan energi hingga 40 persen.
Selain itu, penerapan minimal juga berarti menggunakan sistem pewarna untuk mewarnai selulosa yang memiliki tingkat fiksasi jauh lebih tinggi.
Hal itu memungkinkan konsentrasi rendaman pewarna serta jumlah dan suhu rendaman pembilas (dan juga jumlah air limbah) jauh lebih rendah, serta dapat menghemat sejumlah besar energi. Terutama untuk warna gelap, hingga 25 persen emisi karbon dioksida per kilogram tekstil.
Selain itu, penghematan energi hingga tujuh persen dapat dicapai melalui pembakaran yang optimal,dan tujuh persen selanjutnya dapat dihemat dengan memanfaatkan kembali panas dari udara pembakaran untuk memanaskan air untuk pembangkitan uap atau udara pembakaran.
CEO PT Harapan Kurnia, William Jasen Kurnia, mengatakan untuk beralih ke teknologi pewarnaan dan energi yang lebih ramah lingkungan perlu dilakukan secara bertahap.
"Pada tahap menengah, efisiensi proses teknis harus ditingkatkan, sedangkan langkah besar ke depan adalah transisi dari batu bara ke energi alternatif serta penerapan inovasi pewarnaan tentu membutuhkan investasi lebih besar,” ujar William.
Baca juga: Perguruan tinggi di Guangdong latih tenaga industri tekstil dari ASEAN
Pewarta: Indriani
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2025