Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan ingin Inflammatory Bowel Disease (IBD) Center yang diusung oleh Rumah Sakit Abdi Waluyo Jakarta dapat menjadi pionir dalam menyusun data terbaru dari penyakit IBD atau radang usus secara nasional.
“Mudah-mudahan setelah ini kita punya angka nasional sehingga kita bisa melihat bagaimana sebenarnya magnitude masalah ini, sehingga pusat-pusat IBD seperti ini bisa dibangun,” kata Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono saat konferensi pers di Jakarta, Jumat.
Dante mengatakan Indonesia baru memiliki data secara konsensus. Rumah sakit yang menjadi pusat rujukan nasional seperti RSCM pun juga belum memiliki pusat data untuk IBD.
“Di Asia (datanya) ada 0,77 per 100.000 populasi. Tetapi (kalau Indonesia) di konsensus ada itu 84,3 orang per 100.000 penduduk,” kata dia.
Oleh karenanya, Dante berharap setelah ini pusat layanan IBD dapat menjadi contoh bagi rumah sakit lain agar pusat-pusat lainnya dapat dibangun.
Ia ingin setiap kasus yang terlacak dapat ditangani dengan baik dan masyarakat bisa teredukasi dengan lebih baik oleh tim yang ditugaskan.
Baca juga: Daftar makanan yang aman untuk penderita usus buntu
“Ini bisa dimanfaatkan oleh semua masyarakat, tidak hanya masyarakat di Jakarta tetapi juga masyarakat di seluruh Indonesia,” kata Dante.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Rumah Sakit Abdi Waluyo Prof. dr. Marcellus Simadibrata, Ph.D, Sp.PD-KGEH, FACG, FASGE, FINASIM mengatakan salah satu alasan utama mendirikan pusat layanan khusus bersama Rudolf Simadibrata Gastroenterology- Hepatology & Endoscopy Center itu, karena tim dokter memandang penyakit pencernaan, khususnya IBD sebagai kondisi yang memerlukan perhatian khusus karena dampaknya yang negatif terhadap kualitas hidup.
Ia membeberkan prevalensi IBD sendiri terus meningkat di Indonesia dan kawasan Asia-Pasifik. Beberapa penyebab yang disebutkan yakni Indonesia masih menghadapi kekurangan relatif dalam ketersediaan obat- obatan IBD.
"Rata-rata, hanya obat antiinflamasi oral, kortikosteroid, imunosupresan, dan sejumlah terbatas obat biologis yang tersedia. Namun, mereka seringkali tidak memiliki akses ke guselkumab/risankizumab, inhibitor JAK, dan modulator reseptor S1P, yang terbaru/mutakhir dalam pengobatan IBD," kata dia.
Prof. Marcel menambahkan bahwa perbedaan utama antara Pusat IBD RS Abdi Waluyo dan layanan IBD di rumah sakit lain terletak pada perawatan holistiknya, yang mencakup konsultasi awal, penilaian profil risiko dan komplikasi potensial selama perjalanan penyakit IBD.
Baca juga: Saatnya Indonesia bersatu untuk hadapi penyakit radang usus
Perbedaan lainnya yakni penilaian diet oleh spesialis nutrisi klinis, dukungan psikologis, tinjauan pengobatan saat ini, penilaian kesehatan preventif tahunan, dan pemantauan penyakit secara berkelanjutan.
Selain itu, IBD Center juga aktif dalam memperluas koneksi serta membuka peluang inovasi dan kolaborasi di bidang kesehatan. Prof. Marcel menyebutkan bahwa salah satu komitmen ini diwujudkan dengan terjalinnya kerja sama dengan IBD Center Universitas Chicago di Amerika Serikat.
Sementara itu, Dokter Spesialis Penyakit Dalam Rumah Sakit Abdi Waluyo dr. Paulus Simadibrata, Sp.PD mengatakan dengan adanya kehadiran IBD Center diharapkan dapat membantu pemerintah dalam melakukan riset, penelitian sekaligus mengumpulkan data secara nasional.
“Kalau data nasional yang tadi saya paparkan itu ada dari tahun 2016, di mana dilakukan penelitian dan pendataan dari rumah sakit besar saja, dari kota besar di Indonesia, jadi saya rasa sudah perlu untuk diperbarui lagi,” ujar Paulus.
Dokter lulusan Universitas Indonesia itu juga menyampaikan bahwa tim dari IBD Center membuka peluang untuk berkolaborasi dengan rumah sakit lain dalam menyusun data terbaru tersebut.
Baca juga: Beda penyakit radang usus kronis dan GERD
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Mahmudah
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.