FKKM meluncurkan Panduan Kerangka Kerja Perbaikan Sosial FSC

3 months ago 8
Kami mengapresiasi kerja keras semua pihak yang telah menyusun panduan ini. Semoga menjadi rujukan dalam memperkuat tata kelola kehutanan yang berkeadilan.

Jakarta (ANTARA) - Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) meluncurkan Panduan Penerapan Kerangka Kerja Perbaikan Sosial atau Remedy Framework dari Forest Stewardship Council (FSC) guna mendorong restorasi hutan dan keadilan sosial.

"Panduan ini tidak hanya merespons kebijakan FSC secara teknis, tetapi juga disusun dengan pendekatan partisipatif, inklusif, adaptif dan berbasis pengalaman lapangan," ujar Sekretaris Eksekutif Nasional FKKM Mangara Silalahi dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.

Panduan ini, katanya lagi, terdiri dari sembilan fokus utama, mulai dari penguatan persiapan sosial FPIC (Free, Prior Informed Consent) atau PADIATAPA (Persetujuan Di Awal Tanpa Paksaan), pemetaan dampak operasional, identifikasi hak-hak masyarakat, hingga penyusunan langkah-langkah perbaikan sosial yang berkeadilan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut dia, ada dua alasan FKKM mendukung Remedy Framework, yakni pertama, kerangka ini mendorong restorasi di wilayah terdampak, baik melalui kerja sama masyarakat, pemerintah dan perusahaan restorasi ekosistem.

Kedua, kerangka tersebut bisa menjadi strategi penyelesaian konflik sosial dan memperbaiki relasi antara perusahaan dan masyarakat.

"Panduan ini bukan milik satu organisasi, melainkan hasil pengetahuan kolektif dari komunitas yang selama ini terlibat dan terdampak langsung oleh praktik pengelolaan hutan," katanya lagi.

Direktur Teknis FSC Indonesia Hartono Prabowo menambahkan, Remedy Framework FSC adalah salah satu kebijakan strategis baru lembaga pengembang sertifikasi hutan FSC.

Kebijakan itu dirancang sebagai mekanisme sistematis untuk memulihkan kerusakan sosial dan lingkungan akibat aktivitas kehutanan di masa lalu, terutama di kawasan yang sebelumnya mengalami konversi hutan alam atau berdampak pada hak masyarakat.

Remedy Framework, ujarnya pula, memungkinkan perusahaan yang terdampak dan terpengaruh kebijakan konversi FSC,khususnya terkait cutoff date tahun 1994, untuk kembali memenuhi syarat sertifikasi melalui serangkaian tindakan restoratif, baik secara ekologis maupun sosial.

"Remedy bukan soal kembali ke masa lalu, tetapi membangun masa depan yang lebih baik," ujar dia.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo menyatakan Remedy Framework FSC membuka peluang bagi pengembang hutan tanaman untuk memperoleh sertifikasi, yang sebelumnya terkendala kebijakan konversi.

"Panduan ini memberikan interpretasi operasional yang relevan dan aplikatif terhadap dokumen global FSC, sekaligus mendorong penyelesaian konflik tenurial dan perluasan area rehabilitasi," katanya lagi.

Menurut Indroyono, sertifikasi hutan berperan sebagai alat harmonisasi antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ia menilai keberadaan panduan ini sangat penting untuk memperkuat kepercayaan publik dan daya saing produk kehutanan Indonesia di pasar global.

"Kami mengapresiasi kerja keras semua pihak yang telah menyusun panduan ini. Semoga menjadi rujukan dalam memperkuat tata kelola kehutanan yang berkeadilan," ujarnya.

Baca juga: Menhut umumkan dua inisiatif strategis, bentuk gugus tugas hutan adat

Baca juga: Kemenhut paparkan manfaat pelibatan masyarakat dalam konservasi alam

Pewarta: Subagyo
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2025

Read Entire Article
Rakyat news | | | |