Jakarta (ANTARA) - Setiap tahun, Bumi mengalami fase ketika jaraknya dari Matahari berada pada titik paling jauh. Fenomena ini dikenal sebagai "Aphelion." Pada tahun 2025, fenomena ini terjadi pada bulan Juli, tepatnya mulai tanggal 4 Juli sekitar pukul 02.54 WIB, dan diperkirakan dampaknya masih dapat dirasakan hingga Agustus.
Pada momen tersebut, jarak antara Bumi dan Matahari mencapai sekitar 152.087.738 kilometer. Sebagai gambaran, jarak rata-rata antara keduanya umumnya berkisar 149,6 juta kilometer.
Meski terdengar seperti kejadian luar angkasa yang jauh dari kehidupan sehari-hari, Aphelion sebenarnya memiliki beberapa ciri khas dan dampak yang bisa dirasakan.
Lalu, seperti apa tanda-tanda terjadinya Aphelion dan adakah pengaruhnya terhadap kondisi cuaca atau lingkungan di Bumi, khususnya di Indonesia? Simak penjelasan berikut ini, untuk memahami fenomena alam ini secara lebih mendalam, yang telah dihimpun dari berbagai sumber.
Baca juga: BMKG bantah penyebab cuaca dingin awal 2022 karena Aphelion
Fakta menarik yang menandai fenomena Aphelion
Fenomena Aphelion merupakan kondisi astronomi di mana Bumi berada pada jarak paling jauh dari Matahari dalam lintasannya yang berbentuk elips. Beberapa ciri yang menandai terjadinya Aphelion antara lain:
1. Terjadi setahun sekali
Aphelion merupakan peristiwa tahunan yang terjadi secara teratur, biasanya berlangsung pada awal Juli.
2. Tidak terlihat dengan mata telanjang atau secara langsung
Berbeda dengan fenomena astronomi lain seperti gerhana, Aphelion tidak bisa diamati secara langsung di langit. Ini adalah perubahan posisi Bumi dalam orbitnya yang hanya bisa diketahui melalui perhitungan astronomi.
3. Bumi berada di titik terjauh dari Matahari
Salah satu tanda utama Aphelion adalah posisi Bumi yang mencapai jarak terjauh-nya dari Matahari, yaitu sekitar 152,1 juta kilometer. Angka ini lebih jauh dibandingkan dengan saat Perihelion, ketika Bumi berada paling dekat dengan Matahari.
4. Ukuran Matahari terlihat lebih kecil dari biasanya
Karena Bumi berada lebih jauh, Matahari akan tampak sedikit lebih kecil dari biasanya. Walaupun perbedaan-nya sangat kecil dan tidak begitu terasa tanpa bantuan alat pengamatan khusus.
Baca juga: Aphelion 2025: Jarak terjauh Bumi dari Matahari & dampaknya pada iklim
5. Sedikit menurunnya intensitas cahaya Matahari
Pada saat Aphelion, sinar Matahari yang diterima Bumi berkurang sekitar 7 persen dibandingkan ketika Perihelion. Namun, penurunan ini tidak menyebabkan suhu Bumi turun secara drastis.
Dampak fenomena Aphelion 2025 terhadap wilayah di Indonesia
Tidak sedikit orang yang mengkhawatirkan bahwa fenomena Aphelion bisa menyebabkan penurunan suhu yang tajam atau memicu cuaca buruk di Indonesia.
Bahkan, sebagian masyarakat mengaitkan kondisi tubuh yang mudah terserang flu, batuk, meriang, hingga sesak napas dengan fenomena ini. Padahal, anggapan tersebut kurang tepat.
Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, BMKG pernah menegaskan bahwa Aphelion sama sekali tidak memberikan pengaruh langsung terhadap suhu udara maupun cuaca ekstrem di Indonesia.
Baca juga: Peneliti BRIN nilai fenomena "bediding" berkaitan dengan aphelion
Suhu dingin yang kerap terasa pada bulan Juli hingga Agustus, khususnya di wilayah selatan khatulistiwa seperti Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Timur, lebih banyak dipengaruhi oleh angin muson timur.
Angin ini berasal dari Australia yang tengah berada dalam musim dingin, sehingga membawa massa udara yang dingin dan kering ke wilayah Indonesia. Kondisi itulah yang menyebabkan suhu udara terasa lebih sejuk, terutama pada malam hingga pagi hari.
Jadi, penurunan suhu ini bukan disebabkan oleh jarak Bumi yang sedang jauh dari Matahari saat Aphelion, melainkan karena pola angin musiman yang memang terjadi setiap tahun.
BMKG juga mengingatkan bahwa Aphelion merupakan fenomena astronomi yang berlangsung secara rutin setiap tahun dan tidak perlu dikhawatirkan.
Peristiwa ini tidak menyebabkan gangguan cuaca yang berarti atau cuaca ekstrem. Selain itu, Aphelion juga tidak memicu perubahan iklim mendadak maupun bencana cuaca.
Sebaliknya, fenomena ini sebaiknya dijadikan sebagai kesempatan belajar untuk lebih memahami bagaimana Bumi bergerak di orbitnya dan bagaimana posisinya terhadap Matahari mempengaruhi kehidupan kita.
Baca juga: BMKG: Cuaca dingin bulan Juli tidak terkait fenomena Aphelion
Pewarta: Sean Anggiatheda Sitorus
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.