Butuh denah agar pacu jalur tak jadi tren musiman

2 weeks ago 12
Apakah riak itu hanya bergema sesaat atau menjadi arus panjang yang menembus generasi, bergantung pada keseriusan kita menyusun denahnya

Pekanbaru (ANTARA) - Riak Sungai Kuantan mulai beranjak naik ketika puluhan pemuda desa mulai menggenggam dayung yang siap menopang jalur, sebutan perahu dari pohon khas Kuantan Singingi. Di tepiannya, dentuman gendang dan sorak-sorai penonton menyatu dalam harmoni purba.

Gelombang air yang terbelah haluan perahu panjang jalur menjadi saksi bagaimana tradisi ratusan tahun ini masih hidup, masih menyala. Setiap Agustus, masyarakat berbondong-bondong, tak peduli panas matahari atau deras hujan, untuk menyaksikan perahu kayu yang dipacu puluhan pria berotot. Seakan mengulang mitologi lama tentang keberanian dan kebersamaan.

Bahkan juara pun telah lahir dari tradisi yang mendunia ini, jalur "Bintang Emas Cahaya Intan 2023" adalah juara umum pada festival pacu jalur di Kuansing 2025.

Ketua Panitia Festival Pacu Jalur Tradisional (FPJ-T) Merry Ramadhan Putra mengatakan kesuksesan itu adalah karena kekompakan, kerja sama, komitmen dalam mensukseskan agenda tahunan dalam festival pesta rakyat tersebut. FPJ 2025 yang dihadir Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sangat sukses, dihadiri sejumlah menteri dan Duta Besar beberapa negara.

Bupati Kuantan Singingi Suhardiman Amby bahkan menyebut, festival pacu jalur yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu adalah bukan saja ajang mencari juara, tetapi pelestarian seni budaya lokal.

Namun, ada sebuah kegelisahan: Apakah pacu jalur hanya akan dikenal, dibicarakan, dan dibagikan di media sosial saat festival berlangsung? Apakah setelah sorak reda, ia akan kembali sunyi, menunggu Agustus berikutnya untuk kembali viral?

Pertanyaan itu layak dijawab dengan serius. Sebab tradisi ini tak seharusnya berhenti sebagai tontonan musiman. Ia butuh denah komunikasi budaya yang kokoh agar terus relevan dan berkelanjutan.

Baca juga: Menbud: Gelaran Pacu Jalur jadi media promosi budaya Indonesia

Gelombang viral

Di era digital, pacu jalur sempat menjadi buah bibir nasional. Video anak-anak yang menari di ujung perahu jalur, wajah-wajah penuh semangat para pengayuh, hingga gegap gempita penonton yang tumpah ruah—semuanya menjadi “konten” yang dengan cepat menyebar di TikTok, Instagram, hingga YouTube.

Mengutip teori agenda setting, viralnya pacu jalur tak lain karena media memberi porsi sorotan. Media sosial bertindak sebagai panggung utama yang menampilkan eksotisme budaya lokal kepada khalayak luas. Dengan framing tertentu, misalnya menekankan sisi unik dan heroik, pacu jalur pun menempati ruang penting dalam percakapan publik.

Namun, seperti gelombang, atensi publik di media sosial mudah datang, mudah pula pergi. Fenomena spiral of silence menjelaskan bahwa publik akan ramai membicarakan apa yang dianggap dominan. Ketika isu lain mencuat, pacu jalur perlahan tenggelam di dasar arus.

Pentingnya "road map"

Di sinilah urgensi sebuah road map (denah) komunikasi. Pacu jalur tak boleh hanya jadi pesta tahunan yang meriah namun cepat dilupakan. Ia harus diposisikan sebagai identitas, sebagai simbol budaya Riau yang hadir setiap saat dalam benak masyarakat, baik lokal maupun nasional.

Meminjam pisau teori uses and gratifications, publik modern mencari konten bukan hanya untuk hiburan, tapi juga untuk identitas diri dan integrasi sosial. Jika pacu jalur dikemas dalam berbagai format komunikasi sepanjang tahun, dokumenter, konten edukatif, narasi wisata, bahkan merchandise budaya, maka masyarakat tak hanya jadi penonton musiman, melainkan ikut merasa memiliki.

Baca juga: Menpar: Pacu Jalur jadi ikon keberhasilan wisata yang dikenal dunia

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Read Entire Article
Rakyat news | | | |