Jakarta (ANTARA) - Menjelang Muktamar ke-35 yang rencananya akan diselenggarakan di Surabaya, Jawa Timur, bertepatan dengan satu abad berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 2026, warga Nahdliyin menaruh harapan besar akan lahirnya kepemimpinan baru yang mampu membawa Nahdlatul Ulama memasuki fase sejarah berikutnya.
Setelah melewati sejumlah dinamika dan masa-masa sulit dalam beberapa tahun terakhir, muncul kebutuhan untuk tidak hanya memilih figur, tetapi menentukan arah masa depan organisasi Muslim terbesar di Indonesia ini.
Proses ini bukan sekadar ajang kontestasi internal, melainkan momentum penting untuk merumuskan kembali karakter kepemimpinan NU di medan sosial, politik, dan kultural yang semakin kompleks.
Nama-nama seperti Prof. Dr. Kiai Nasaruddin Umar, Doktor HC Kiai Zulfa Mustofa, dan Gus Nusron Wahid mencuat karena masing-masing merepresentasikan spektrum kepemimpinan yang berbeda sekaligus saling melengkapi.
Di sinilah warga Nahdliyin dihadapkan pada pilihan strategis tentang jenis kepemimpinan seperti apa yang paling dibutuhkan NU hari ini dan ke depan.
Nasaruddin Umar hadir sebagai figur intelektual ulama yang telah lama berjalin dengan struktur pemerintahan. Ia sedang menjabat sebagai Menteri Agama sejak 2024 dan sebelumnya pernah menjadi Wakil Menteri Agama pada 2011–2014.
Sosoknya menonjol karena jejaring sosial-politik yang kuat, baik melalui struktur resmi kementerian maupun hubungan panjang dengan berbagai pemangku kepentingan.
Dalam konteks konsolidasi kelembagaan, kekuatan itu menjadi modal yang tidak bisa diabaikan. Setidaknya ada sekitar 160 struktur PWNU dan PCNU se-Indonesia yang saat ini dipimpin oleh pejabat Kementerian Agama, yang berarti terdapat kanal komunikasi pembinaan dan koordinasi yang terus terbuka.
Jejaring Kanwil dan Kakandepag di masa mendatang juga dapat menjadi medium sinergi antara pemerintah dan struktur NU. Ditambah lagi, informasi tentang dukungan Presiden Prabowo yang beredar di kalangan elit membuat posisi Nasaruddin semakin strategis.
Namun, ia bukan politisi murni. Ia lebih tepat disebut intelektual yang dibesarkan oleh dukungan politisi.
Di sinilah pertanyaan penting muncul, apakah NU memang membutuhkan pemimpin yang bekerja dari dalam struktur negara, atau NU justru membutuhkan seseorang yang lahir dari kultur organisasi itu sendiri dan mampu bergerak lebih luwes di medan politik praktis?
Baca juga: NU: Santri harus hadir di berbagai bidang tanpa kehilangan jati diri
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.


















































