Kabul (ANTARA) - Di saat dunia memperingati Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia pada Rabu (23/4), toko-toko buku di Kabul, ibu kota Afghanistan, sedang menghadapi penurunan bisnis yang belum pernah terjadi sebelumnya akibat penurunan signifikan dalam jumlah pencinta buku dan peminat kegiatan membaca.
Budaya membaca di Afghanistan terus mengalami kemunduran akibat berbagai faktor. Konflik selama puluhan tahun, kemiskinan yang meluas, dan tingkat pengangguran yang tinggi berdampak besar terhadap industri buku dan mengikis budaya membaca negara itu.
Sulaiman Shah, yang telah bekerja sebagai staf penjualan di salah satu toko buku tertua di Kabul selama lebih dari 16 tahun, melihat penurunan drastis dalam minat publik terhadap buku dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
"Penjualan buku kami dahulu cukup kuat," kata Shah kepada Xinhua, berdiri di samping rak-rak yang dipenuhi berbagai buku.
Namun, sayangnya penjualan kami saat ini anjlok menjadi hanya 10 persen dari sebelumnya.
Dalam upaya untuk membangkitkan kembali kebiasaan membaca dan mempromosikan budaya sastra, pemerintah sementara Afghanistan menyelenggarakan berbagai pameran buku baik di dalam maupun luar ruangan. Inisiatif ini bertujuan untuk mendongkrak minat baca di seluruh negeri, terutama di komunitas yang paling terdampak oleh kemiskinan.
Didirikan pada 1974 dan berlokasi di jantung kota Kabul, toko buku tersebut memiliki koleksi berisi lebih dari 20.000 buku yang disusun dengan cermat dalam berbagai bahasa, termasuk Spanyol, Mandarin, Polandia, Prancis, Urdu, dan Arab.
Topiknya mencakup sejarah, kedokteran, ilmu pengetahuan, budaya, politik, ekonomi, dan literatur anak-anak, dengan beberapa di antaranya berusia lebih dari 300 tahun. Ada pula buku-buku yang secara khusus membahas pertumbuhan ekonomi China.
"Buku sangat dihargai di seluruh dunia," kata Shah yang saat ini berusia 39 tahun. Namun, sayangnya apresiasi itu tidak terlihat di sini, di Afghanistan, katanya.
Zahor Chopan, pegawai lain di toko tersebut, turut mengungkapkan rasa frustrasinya terhadap berkurangnya jumlah pengunjung. Dia percaya bahwa kurangnya semangat membaca di kalangan generasi muda terutama disebabkan oleh kesulitan ekonomi yang masih terus melanda negara itu.
"Tidak banyak orang yang tertarik pada buku saat ini," ujar Chopan. "Orang-orang berpendapatan rendah mungkin ingin membaca, tetapi mereka tidak mampu membeli buku."
Dalam upaya untuk membangkitkan kembali kebiasaan membaca dan mempromosikan budaya sastra, pemerintah sementara Afghanistan menyelenggarakan berbagai pameran buku baik di dalam maupun luar ruangan. Inisiatif ini bertujuan untuk mendongkrak minat baca di seluruh negeri, terutama di komunitas yang paling terdampak oleh kemiskinan
Meskipun harga buku relatif murah, banyak warga Afghanistan tetap tidak mampu membelinya karena keterbatasan finansial, jelas Chopan.
Ketika ditanya tentang pengaruh media sosial dan internet terhadap penurunan minat membaca buku, dia menjawab, "Tidak. Buku masih punya penggemar setianya sendiri."
Esmatullah Rahimy, seorang pengunjung toko buku di distrik barat Kabul, mengatakan kepada Xinhua bahwa masyarakat saat ini tidak bersedia mengeluarkan uang untuk membeli buku.
Rahimy menyatakan bahwa selain kesulitan ekonomi, meningkatnya penggunaan media sosial juga turut mengalihkan minat generasi muda dari aktivitas membaca buku, semakin memperlemah budaya membaca yang sudah rapuh di negara itu.
Selama berabad-abad, buku membangkitkan imajinasi dan membuka pintu ke dunia nyata maupun fiksi. Namun, membaca bukanlah prioritas di Afghanistan.
Bagi banyak orang, bertahan hidup setiap hari lebih penting dibandingkan kemewahan menikmati karya sastra. Mereka lebih khawatir soal mendapatkan makanan untuk hari berikutnya ketimbang membalik halaman buku.
Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2025