Jakarta (ANTARA) - Badan Pusat Statistik (BPS) memandang bahwa fenomena “rojali” atau “rombongan jarang beli” belum tentu mencerminkan tentang kemiskinan, namun tetap penting dibaca apakah hanya gejala sosial atau disebabkan tekanan ekonomi.
Belakangan ini, fenomena “rojali” ramai diperbincangkan yang merujuk pada aktivitas masyarakat yang mengunjungi pusat perbelanjaan tapi tidak melakukan pembelian apapun.
“Bisa jadi untuk refresh atau ada tekanan ekonomi terutama kelas yang rentan sehingga mereka akan ‘rojali’ di mal dan lain sebagainya,” kata Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono di Jakarta, Jumat.
Mengacu data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenans) 2025, Ateng mencatat bahwa kelompok atas mulai menahan laju konsumsinya. Namun, perubahan ini tidak serta-merta berpengaruh ke angka kemiskinan karena hanya mencakup segmen tertentu.
Menurut dia, fenomena “Rojali” bisa menjadi sinyal penting bagi pembuat kebijakan untuk tidak hanya fokus pada penurunan kemiskinan ekstrem, tetapi juga pada perlindungan daya beli dan kestabilan ekonomi rumah tangga di kelas menengah-bawah.
“Perlu diamati, apakah yang mengalami fenomena ‘Rojali’ hanya pada kelas atas, menengah, rentan, atau bahkan kelompok miskin. Kami belum sampai survei ke arah ‘Rojali’. Kami surveinya hanya berbasis sampel rumah tangga di Susenas,” kata Ateng.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso menyebut fenomena “rojali” di pusat perbelanjaan bukanlah hal baru.
Menurut dia, masyarakat bebas untuk menentukan pilihan untuk berbelanja secara daring ataupun luring. Dan melihat sebuah produk di mal dan kemudian membelinya secara daring, adalah cara masyarakat untuk melihat kualitas barang secara langsung.
"Kan kita bebas kan. Saya bilang kan kita tuh bebas mau beli di 'online', mau beli di 'offline' kan bebas. Kan dari dulu juga ada itu," ujar Budi di Jakarta, Rabu (23/7).
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengatakan fenomena "rojali" tidak akan berlangsung lama.
Menurut dia, fenomena tersebut akan berkurang apabila daya beli masyarakat kembali membaik.
"Saya kira tidak akan terus berlanjut, pemerintah kan sekarang sudah mulai banyak memberikan stimulus kebijakan-kebijakan untuk mendorong daya beli. Kalau daya belinya pulih, rojali-nya pasti berkurang," kata Alphonzus.
Baca juga: Ekonom menyoroti faktor utama dari fenomena "rojali" dan "rohana"
Baca juga: Ekonom: Transformasi produktivitas pacu peningkatan daya beli
Baca juga: Fenomena "rojali" dongkrak omzet F&B di mal hingga 10 persen
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.